Oleh: Rosidah binti Musa
"Bu, apakah ayah pulang lagi tahun ini?"
"Ayah tidak bisa pulang, Nak. Mungkin tahun depan ayah akan pulang, kita doakan saja ayah sehat selalu dirantau."
*****
Impian untuk berkumpul bersama adalah dambaan bagi Ratih seorang ibu rumah tangga yang kini ditinggal oleh suaminya ke luar negeri, Rizki anak semata wayang dari sepasang istri Ratih dan Sugiman itu kini telah beranjat dewasa. Sang ayah lama telah meninggalkan rumah semenjak Rizki berumur dua tahun dan kini ia berumur sepuluh tahun, tak salah bila sang anak menanyakan keberadaa ayahnya yang tak kunjung pulang. Setiap lebaran tiba ia pasti menanyakan hal yang sama pada ibu, namun Ratih tak bisa menjawab apa pun karena dia pun sama tidak mendengar kabar dari suaminya itu.
Ingin rasanya Ratih menyusul suaminya yang bekerja di Taiwan, tapi ia tak bisa karena anak dan ibu yang sudah sepuh membuat dia tak mampu meninggalkan orang yang mereka sayangi. Sudah beberapa tahun pun Sugiman sudah tak lagi mengirim uang untuk keluarganya, terakhir kali sang suami menghubungi Ratih ketika anak lelakinya khitanan dan itu yang terakhir selanjutnya ia hilang kontek bahkan beberapa kali sang istri mencoba menghubungi nomer ponsel lama sang suami namun hasilnya sama tak nomer itu tidak digunakan lagi.
Rasa bimbang dan takut terus menghapiri setiap ia menatap potret sang suami, Ratih sendiri bukan seorang istri yang nekoh-nekoh atau yang selalu meminta uang pada suami meskipun itu adalah wajib bagi seorang istri, dia paham dan mengerti ketika Sugiman menjelaskan bahwa hidup dirantau itu tak senikmat hidup di negara sendiri dan saat itulah Ratih memahi semua perjuangan sang suami dia pun tak berdiam diri menunggu uang dari Sugiman bisa dibilang Ratih adalah wanita yang mandiri meski suaminya berada di luar negeri ia tetap kerja sebagi buruh tani atau apa pun bila ada tetangga meminta bantuannya untuk mencuci dan menghatar gas.
"Oalah Tih, Tih. Suamimu itu kan kerja di luar negeri, ngapain kamu panas-panas ikutan tandur di sawah orang. Enak juga di rumah, Tih."
Ratih hanya menjawab dengan senyuman ia tak mau banyak bicara pada semua orang terutama saudarah-saudarahnya bahkan mereka memintanya untuk menikah lagi namun dia tak pernah menuruti permintaan saudarahnya, Ratih tak kuasa jika dia mengikuti permintaan semua orang sedangkan hatinya hanya masih mencintai Sugiman. Terkadang ia merasa kesal dan ingin sekali memberontak pada sunyinya malam dan pada dinginnya angin bertiup kesedihannya seakan tak pernah bertepi, seseorang yang dia dambakan selama ini dan ia harapkan di dalam hidupnya meninggalkan dirinya begitu saja dan anak semata wayangnya.
"Bu, mengapa belum tidur? Sudah larut malam, apakah Ibu capek?"
Ratih segera menghapus air matanya dia tak ingin anak lelakinya tahu, bahwa ia sedang menangis. "Tidurlah Nak, ibu tidak apa-apa hanya tak bisa tidur saja."
"Apa ingin Rizki temani Ibu ngobrol?"
"Tidak, pergilah tidur besok Rizki harus sekolah."
Anak lelakinya pun pasrah dengan permintaan ibunya, mungkin benar dia ingin merenungi malam sambil menunggu salat tahajjud tiba. Rizki pun kembali ke kamarnya dan melanjutkan mimpi yang tertunda.
*****
Ratih masih terpaku menatap potret yang terpajang di sebuah meja kecil diujung ruangan tamu, ia pandangi wajah yang ada dibingkai itu lekat-lekat. Dengan penuh harapan ia berdoa agar bisa dipertemukan dengan suaminya meski dalam keadaan apa pun, ia tak kenal teman-teman suaminya dan PT yang pernah menerbangkan Sugiman pun sudah bangkrut kini Ratih sangat binggung pada siapa lagi ia meminta tolong sedangkan dia tak begitu paham menggunakan media sosial ponsel yang ia punya pun hanya bisa saja, tidak bisa mengakses internet.
"Aku serahkan pada-Mu ya Rabbi, hanya Engkaulah yang Maha Tahu di mana Mas Sugiman berada."
"Bu ...."
Ratih terkejut mendengar jeritan buah hatinya, ia pun bergegas mendekati Rizki, mata tertujuh pada ibunya yang kini terbaring dipangkuan anaknys. "Kenapa, si mbah? Ada Rizki."
"Mbah terpeleset, Bu."
Dia pun segera meminta pertolongan tetangganya yang mempunyai kendaraan dengan napas tersengal ia meminta Jupri mengantarnya ke rumah sakit mendengar keluh kesa Ratih, Jupri tak banyak basa-basi segera mengambil motornya dan membonceng ke dua perempuan itu menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan ia hanya menangis mendekap ibunya yang kini tak sadarkan diri, padahal hari raya sebentar lagi namun ada saja ujian yang menyapa namun ia harus sabar dan ikhlas atas apa yang menjadi ketentuan dari-Nya.
"Tahan ya Bu, sebentar lagi kita sampai." Hanya kata-kata itu yang selalu diucapkannya, sesekali mengusap air matanya yang menetes diwajah ibunya.
Sesampai diparkiran pun Jupri segera menggendong Mbah Sumi yang lemas tak sadarkan diri diikuti oleh Ratih yang tak henti-henti menangis, ia mengahampir suster yang tengah mambawa kursi roda dan ia pun meminta mendudukkan Mbah Sumi membawanya di ruangan periksa.
"Tidakkk! Bagaimana aku mendapatkan golongan darah O, dok. Sedangkan darahku A." Seorang berteriak di luar ruangan pasein, bahkan sepertinya menangis merasa menyesal dan seakan berat sekali hidupnya.
Ratih sangat penasaran siapa yang berteriak-tetiak diruangan seperti ini, sangat tidak sopan meskipun ia dalam kesediahan setidaknya menghargai orang yang tengah sakit dirawat di ruangan itu. Dia sangat bersyukur dokter segera menangani ibunya dan sang ibu tidak apa ia hanya pingsan dan sedikit memar dibagian jidatnya, kakinya hanya terseleo itu akan segerah sembuh begitupun dengan memarnya.
Mata Ratih menyapa segalah ruangan pasein itu dipenuhi oleh dengan bermacam penyakit yang tengah dirawat namun matanya tertuju pada wanita yang ada diujung kamar, beberapa perawat tengah membantu membersikan darah-darah yang menempel pada wajahnya, ia sangat penasaran pada wanita itu sehingga membuatnya berani bertanya pada dokter yang sedang mengganti infus pada pasein.
"Maaf dok, kalau boleh tahu apa ia kecelakaan?"
"Benar Bu, dan ia sedang membutuhkan golongan darah O."
Dia terdiam ketika sang dokter berkata golongan darah O, ia mengingat-ingat golongan darahnya karena dulu pun ia pernah mengikuti donor darah bersama tetangganya."Tunggu, dok. Golongan darahku juga O. Aku bisa membantunya dok."
Sang dokter terkesima melihat wanita muda yang sangat bersemangat mendonorkan darahnya, jarang sekali orang mau membantu dengan bersemangat sebegitunya. "Apakah Ibu yakin? Kalau begitu mari kita keruangan untuk mengambil darah."
"Baik dok, tenang saja aku tak punya penyakit komplikasi dan aku pun pernah ikut donor darah." Ratih tersenyum ketika dokter itu menyilakannya dia masuk dan memberi surat tentang wanita yang kecelakaan itu, ia tertegun membaca atas nama pasein yang terterah di atas kertas putih itu.
"Apakah yang bertanggu jawab wanita itu suaminya, dok?"
"Benar Bu, disitu sudah tertulis bahwa Pak Sugiman adalah suaminya sekarang beliau tengah keluar apakah Ibu ingin menunggu Pak Sugiman?"
"Apakah orangnya seperti ini, dok?" Ratih menujukkan foto kecil yang terselip di dompetnya. Dokter itu mengiyakan dan Ratih hanya terdiam entah harus berkata apa ia bingung dan sedikit kecewa dengan suaminya yang begitu tega meninggalkannya bahkan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.
"Ambillah sekarang dok, tidak perlu menunggu Pak Sugiman."
Dokter pun menuruti apa yang dikatakan oleh Ratih dan segera mengambil darahnya. Matanya terpejam menahan segala rasa sakit bertahun-tahun dirasakannya sekarang yang ia dapatkan hanyalah sebuah badai yang menyambar dan menghancurkannya berkeping-keping dengan sengatannya yang tiba-tiba. Bulirannya membasahi wajah ayunya seraya ia pun mengusap setiap buliran bening itu.
"Sudah selesai Bu."
Ratih pun bangun dan tersenyum pada sang dokter seakan ia tak ada apa-apa, terdengar suara Jupri dan Rizki karena kamar pengambilan darah tak jauh dari ruang pasein, iya pun terdengar samar-samar suara seorang lelaki yang ia sangat kanali, Ratih bangkit dan keluar dari kamar itu dan yang didengar olehnya ternyata benar bersamaan dengan dokter memberi tahu ia sudah mendapat golongan darah O dokter pun memberitahu bahwa wanita yang disebelahnyalah telah mendonotkan darahnya.
"Maafkan aku, Ratih."
Tangan Jupri mengepal dan Ratih pun mendekap erat Rizki yang ada di pelukkannya, melihat begitu banyak orang Mbah Sumi pun tersadar, ia segerah meminta izin untuk membawa ibunya pulang dan Sugiman pun selalu mencoba untuk menggapai tangan Ratih tapi ia menampikkannya.
"Jangan sentuh aku, Mas dan ceraikanlah aku sekarang juga. Sudah cukup kau membung kami dan menyianyiakan kami. Semoga istri cepat sembuh, tak perberterima kasih atas darah yang aku donor."
Dia adalah Ratih wanita yang ditinggalkan dan disakitinya, meskipun wanita yang terbaring itu telah merebut suaminya ia tetap mendonorkan darahnya pada wanita biadab itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H