Hai, sahabat semua,
Tantangan samber THR hari ke-27 bertema pantai favorit.
Bagi saya dan keluarga, pantai favorit kami adalah pantai Pangandaran, di Jawa Barat. Pangandaran adalah pantai yang sangat indah, mengesankan, dan membuat jiwa raga refresh kembali.
Pernahkah sahabat naik kereta api ke Pangandaran?
Kalau saya sering!
Tetapi. Itu dulu! Hehehe...
Saat masih duduk di SD, saya dan ketiga saudara saya sering berlibur ke rumah Nenek Mamah di Pangandaran.
Nenek Mamah, adik dari Nenek asli dari pihak Ibu, tinggal di Pangandaran, tepatnya di Kampung Pawela, Purbahayu.
Biasanya kami naik kereta api yang perwis di depan rumah. Kereta akan berhenti, menunggu kereta sebelumnya berangkat.
Kami naik kereta seperti naik mobil umum saja! Hihihi
Ibu akan memberi ongkos sekadarnya ke kondektur, dan kami menumpang kereta selama 3 jam.
Saat itu, kereta selalu penuh sesak, bahkan sampai ke atas kereta.
Masih untung kalau kami mendapat tempat duduk. Kalau tak pun, kami duduk di atas tas, sambil menghindari senggolan para pedagang, pengamen, yang tak henti hilir mudik.
Perjalanan saat itu begitu praktis, tak ada rasa khawatir akan ada kejahatan atau penculikan. Ibu akan menjemput, saat liburan kami hampir usai, Semua aman-aman saja di kisaran tahun 1975 hingga hingga tahun 1980-an.
Sungguh keadaan yang sangat berbeda dengan situasi saat ini. Tak akan ada orang tua yang tega melepas anak-anaknya yang masih SD untuk ke Pangandaran tanpa ditemani orang dewasa!
Yang paling seru kala naik kereta, yaitu saat di daerah Kalipucang. Kereta akan melewati terowongan Cikacepit yang sangat panjang. Panjangnya lebih dari 1 km.
Suasana gelap gulita, suara kereta bergemuruh, membuat hati ciut. Beberapa penumpang akan menyalakan senter, dan suasana pun menjadi agak terang. Kami berdoa sebisa mungkin, agar kami selamat dari gelapnya terowongan, termasuk yang berada di atas kereta.
Saat terowongan hampir usai, dengan gembira kami berebut untuk melihat cahaya.
Mula-mula cahaya nampak sedikit, dan tak lama kemudian, keadaan menjadi benderang. Kami pun menarik napas lega.
Seru sekali rasanya!
Melewati terowongan Cikacepit, adalah hal yang ditunggu-tunggu, karena sangat menegangkan sekaligus mengesankan.
Dari stasiun Pangandaran, kami berempat berjalan kaki sejauh dua kilometer, hingga tiba rumah Nenek Mamah.
Suami nenek, Aki Efendi, adalah seorang guru SD, yang memiliki penggilingan padi.
Jika pulang ke Tasik, kami dioleh-olehi beras, macam-macam sayur, ikan laut, kelapa dan masih banyak lagi yang lainnya. Berkarung-karung kami angkut, untuk bekal di kampung halaman.
Nenek Pangandaran memiliki 6 putra yang sangat baik. Kami bergaul bagaikan dengan saudara kandung, sehingga kami betah berlibur di sana.
Saat di Pangandaran kami kerap main ke pantai, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah Nenek.
Kami biasa berjalan kaki pada pagi hari, dan sesampainya di laut, kami langsung berenang dengan sukacita, sambil menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi.
Pantai saat itu begitu bersih dan asri.
Selesai berenang sepuasnya, kami pun menyambangi Aki Asim, kakaknya nenek Asliku, yang rumahnya di tepi pantai.
Aki Asim bekerja sebagai tukang cukur. Di sana kami disuguhi kelapa yang langsung dipetik dari pohonnya.
Hm, segarnya.
Sore hari, barulah kami pulang. Biasanya kami mencari tumpangan mobil buntung gratis, yang mengangkut gabah atau kebutuhan pokok menuju Pawela.
Bila tak ada, maka jalan kaki solusinya.
Senangnya, saat itu! Menumpang kereta, dan bermain sepuasnya di pantai.
Andaikan masih ada jalur kereta api, kami bisa bernostalgia, dan mengajak anak cucu menikmati terowongan Cikacepit yang legendaris.
Akankah kereta api ke Pangandaran akan difungsikan kembali?
Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H