Hai, sobat Kompasianer,
Sudah munggahan, belum?
Loh, munggahan itu apa, ya?
Dilansir dari wikipedia.org, munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan yang dilakukan pada akhir bulan Syakban.
Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama.
Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orangtua atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda "unggah" yang berarti naik, yang bermakna naik ke bulan yang suci atau bulan yang tinggi derajatnya.
Jadi, munggah berarti perihal perubahan ke arah yang lebih baik, dari bulan Syakban menuju Ramadan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas iman kita saat sedang berpuasa dalam bulan Ramadan.
Nah, bagaimana munggahan di SDN 4 Sukamanah?
Munggahan di sekolah kami dilaksanakan pada hari Senin, 20 Maret 2023, pada pukul 07.00. Acara diawali dengan kultum oleh Ibu Ade Siti Robiah, S.Pd.I, yang dilanjutkan dengan salat sunat Duha yang dipimpin oleh Pak Asep Sopanul Aji, guru kelas 3. Setelah acara salat dan do'a, dilanjutkan dengan botram, atau makan bersama. Anak-anak membawa bekal makanan masing-masing.
Acara botram diwarnai insiden, yaitu salah seorang murid kelas IV kehilangan lauk satu-satunya.
"Ibu, fried chicken saya dimakan kucing!"
Radit memperlihatkan kresek lauknya yang sudah koyak, dan kosong.
Pantesan! Saat selesai salat Duha, kulihat kucing yang biasa tidur di kelasku, keluar dari kelas empat, sambil menjilat-jilat. Perilaku ini biasa terjadi jika kucing selesai makan.
Oh, rupanya dia sudah makan besar! Makan daging ayam berbalut tepung yang lezat!
"Aduh, kasian. Masih ada lauk yang lain?" kutanya Radit yang sedang dikerubungi teman-temannya.
Radit menggeleng. Matanya tampak berkaca-kaca.
"Biar nanti dikasih sama saya, Bu!" ujar teman sebangkunya.
"Wah, bagus, Nak! Apa laukmu?" tanyaku dengan penuh rasa terima kasih.
"Saya bawa mi goreng, Bu!"
"Alhamdulillah, bagus, Nak, mau berbagi!" kuacungkan jempol.
Radit tak jadi menangis, meski masih tampak rasa kecewa di wajahnya.
Saat di lapangan, Radit mendapat sumbangan telur rebus dari Reno, sesendok mi goreng dari Ardi, dan secuil telur dadar dari Zahran. Kini Radit bisa botram dengan lauk kebersamaan. Hehehe
Guru-guru dan orang tua makan bersama dengan menu nasi tutug oncom (TO).
Nasi Tutug Oncom adalah makanan khas Tasikmalaya yang terbuat dari nasi yang diaduk dengan oncom. Lauknya adalah tempe goreng, bala-bala, dan tahu goreng, serta. Ada pula orang tua siswa yang membawa oseng kangkung dan balado jengkol.
Hm, nikmat rasanya.
Maaf, ya man-teman,
Penulis tidak bermaksud flexing, karena menu kami sederhana. Tak ada telur atau daging di antara kita, tetapi nikmatnya luar biasa! Hehehe
Di penghujung acara, kami bermaaf-maafan, dan saling mendoakan, semoga semua diberi kesehatan dan keikhlasan di dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan, sehingga mendapat rida Allah Swt. Aamiin.
Sempat kulihat Radit mendekati kucing pencuri yang sedang duduk santai di antara murid kelas enam. Sejenak dia terlihat berbicara dengan kucing berbulu putih oren. Kemudian, tanpa ragu, ia menyalami tangan kucing itu.
Rupanya Radit sudah mengikhlaskan fried chickennya, dan memaafkan sang Kucing.
Melihat kejadian itu, sontak anak-anak bertepuk tangan dan tertawa lega.
Duh, senangnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H