Sejak ada tetangga baru, A Bari berubah. Tetangga itu, mengontrak rumah dan terhalang tiga rumah saja dari rumah kami.
Mula-mula, A Bari akrab dengan A Parjo, salahsatu putra tetangga baru itu. Mereka bermain layangan bersama, atau permainan lainnya.
Tetapi semenjak itu, A Bari jadi nakal! Beneran!
Pernah kulihat A Bari dan A Parjo, mengendap-ngendap di belakang pohon bluntas di sepanjang rel kereta. Kala itu aku sedang bermain di pinggiran rel bersama Peti, temanku, setelah pulang sekolah. Karena baru kelas dua, sekolahku memang hanya setengah hari.
Saat Pak Jamal. Guru Agama di sekolah kami berjalan melintas, mendadak A Bari dan A Parjo melempar beliau dengan batu, sambil berteriak,
"Jambal Roti! Jambal Roti!"
Kemudian berlarian sambil tertawa-tawa.
Jambal roti adalah nama sejenis ikan laut. Dan nama Pak Jamal diplesetkan seperti itu.
Pak Jamal yang terkena lemparan batu, segera melihat ke sekeliling. Ia melihat dua orang anak berlari menjauh!
"Huh, si Bari!" dia menggerutu. Dia mengusap-usap punggungnya yang terkena lemparan.
Setelah sempat termangu beberapa saat, beliau kemudian meneruskan kembali perjalanannya.
Pak Jamal setiap hari menyusuri rel melewati perkampungan kami, kemudian naik angkot 07 untuk mencapai rumahnya di Karangresik.
Pak Jamal memang terkenal sebagai guru yang disiplin di sekolah. Aku kadang suka takut bila ada pelajaran beliau.
Setelah kejadian itu, besoknya, A Bari dan A Parjo, dihukum oleh Pak Jamal.
"A Bari dihukum sama Parjo!" Teh Dini berbisik kepadaku saat tiba di rumah,"Mereka dijemur di lapangan."
"Kenapa, Teh?"
"Kemarin melempar Pak Jamal dengan batu!"
Aku mengangguk-angguk.
"Ana melihatnya kemarin!" ujarku.
"Aduh, memalukan sekali!" ujar Teh Dini,"Berani-beraninya melempar Pak Jamal!"
"Kok, Pak Jamal bisa tahu, yang melempar itu A Bari?"
"Ya, pasti ketahuan, lah! Hanya kita yang tinggal di daerah sebelah sini!" Teh Dini tersenyum kecut.
"Duh, kenapa A Bari jadi begitu, ya, Teh?" tanyaku.
Teh Dini merenung.
"Ini gara-gara berteman dengan Parjo! Anak baru itu!" Teh Dini terlihat kesal. Tangannya mengepal.
Aku pun sebenarnya kurang suka dengan A Parjo yang suka berbicara keras dan kasar.
"Jangan bilang-bilang Ibu. Kasian, nanti Ibu sedih!" Teh Dini menempelkan jari di bibirnya.
Aku mengangguk.
"Baiknya, A Bari jangan berteman dengan A Parjo, ya, Teh!"
"Iya!"
Kami terdiam, terbawa pikiran masing-masing. Kami berpikir keras, bagaimana cara memisahkan mereka?
Duh,
Hati kami benar-benar sangat sedih.
A Bari, kembalilah seperti A Bari yang dulu!
Tolonglah, ya, Allah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H