"Kapasnya juga, Teh?" si Mang penjual kembali bertanya.
"Iya, sekilo juga!" Ibu memilih pisang berwarna kuning yang bentuknya lebih panjang dari pisang nangka tadi.
Loh, ini kapas? Duh pisang kapas, ya? Kapas, kan, yang berwarna putih? Aku terheran-heran. Pertanyaan berputar-putar di benakku. Aku merasa aneh dengan nama-nama pisang.
"Ayo, kita beli sayuran!" Ibu menggamit lenganku.
"Iya, Bu!" aku menjejeri langkahnya.
Makin ke dalam, pasar makin sesak. Orang-orang hilir mudik, berbaur antara para penjual asongan dan pembeli. Kami berjalan di sela-sela kepadatan.
Tiba-tiba kulihat di depanku seorang penjual peuyeum dengan pikulannya yang besar.
Aduh, pikulannya pasti menabrakku! Pikirku.
Ketika sudah begitu dekat, secara refleks, kudorong pikulan bagian depannya agar tak menabrakku. Si Mang yang tak menyangka akan kudorong, lantas terhuyung, dan hampir terjerembab.
"Aduh!" serunya.
Pikulannya terbanting ke tanah. Untunglah, tak tumpah!
Tubuh si Mang tertahan oleh pengunjung di sana, dan tak terjatuh .
"Kenapa kaudorong pikulan si Mang?" Ibu terlihat gusar.
"Abis, dia mau menabrakku!" aku membela diri.
Ibu mendengus kesal, dan segera menghampiri si Mang. Ibu terlihat menangkupkan tangan, meminta maaf.
"Maaf, terdorong oleh anakku, Mang!"
"Bukan terdorong, tapi didorong!" si Mang tampak emosi.
"Iya, maaf, ya, Mang maklum anak kecil!"
Ibu segera membawaku pergi, setelah melihat si Mang mengangguk memaafkanku. Walau mungkin terpaksa!
"Jangan dorong-dorong lagi. Bahaya!" Ibu membisikiku.
Aku pun mengangguk, mengiyakan.
Setelah semua keperluan untuk dapur dan warung terpenuhi, Ibu segera mengajakku pulang. Kami kembali menyusuri jalan tadi, yang kini sudah lebih terang dan ramai.
"Aduh, pikulan si Mang sampai jatuh begitu!" Ibu menatapku.
Aku hanya tersenyum kecut.
"Memang kamu ini bertenaga samber nyawa!" katanya sambil tertawa.
Julukanku adalah pendekar samber nyawa, terinspirasi dari serial komik yang suka dibaca Ibu dan kami sekeluarga.
Pendekar Samber Nyawa sendiri adalah pembela keadilan, yang secepat kilat menghilang setelah melumpuhkan lawan.
Kelakuanku pun seperti itu! Kalau sedang kesal, suka secepat kilat mencubit adikku, kemudian kabur.
Kabur meninggalkan adikku menangis sendirian!
Seperti Pendekar!
Hahaha
Mendengar kelakar Ibu, aku hanya tersipu. Dalam hati, aku merasa kapok, tak mau ikut ke pasar lagi, yang ternyata jauh dari kata menyenangkan.
Terlalu ramai dan berdesak-desakkan.
Huu...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI