"Kapasnya juga, Teh?" si Mang penjual kembali bertanya.
"Iya, sekilo juga!" Ibu memilih pisang berwarna kuning yang bentuknya lebih panjang dari pisang nangka tadi.
Loh, ini kapas? Duh pisang kapas, ya? Kapas, kan, yang berwarna putih? Aku terheran-heran. Pertanyaan berputar-putar di benakku. Aku merasa aneh dengan nama-nama pisang.
"Ayo, kita beli sayuran!" Ibu menggamit lenganku.
"Iya, Bu!" aku menjejeri langkahnya.
Makin ke dalam, pasar makin sesak. Orang-orang hilir mudik, berbaur antara para penjual asongan dan pembeli. Kami berjalan di sela-sela kepadatan.
Tiba-tiba kulihat di depanku seorang penjual peuyeum dengan pikulannya yang besar.
Aduh, pikulannya pasti menabrakku! Pikirku.
Ketika sudah begitu dekat, secara refleks, kudorong pikulan bagian depannya agar tak menabrakku. Si Mang yang tak menyangka akan kudorong, lantas terhuyung, dan hampir terjerembab.
"Aduh!" serunya.
Pikulannya terbanting ke tanah. Untunglah, tak tumpah!