Hari yang sangat cerah. Kegiatan gebyar lomba melukis yang diselenggarakan oleh pihak sponsor di sekolah kami, membuat semua bersuka cita.
Anehnya, di antara kemeriahan suasana, kulihat seorang anak dengan baju tak disetrika, tampak duduk menyendiri di barisan belakang. Sungguh, sangat kontradiktif dengan wajah ceria anak-anak lainnya, yang sebagian besar datang bersama orang tua mereka.
Ketika kudekati, ternyata Zaki! Murid kelas empat, anak piatu, yang hidup bersama lima orang kakak laki-lakinya.
"Sudah makan, Nak?" tanyaku.
Pertanyaan rutinku, bila bertemu dengannya.
Zaki mengangguk, wajahnya terllihat muram.
"Bu, boleh melukisnya gak pake pensil warna?" tanyanya tiba-tiba.
Aku terhenyak, pertanyaannya terasa menusuk jantungku.
"Nanti pinjam sama teman, ya?" kutepuk bahunya sambil tersenyum.
Padahal, hatiku merasa teriris. Aku lupa, dia pasti tak punya! Pensil warna inventaris sekolah kebetulan sudah habis, dan tak ada waktu untuk membelikannya.
Mudah-mudahan ada yang mau meminjaminya! Kutatap dia dengan risau. Ingatanku terlempar ke masa lalu.
Zaki bungsu dari tujuh bersaudara, kakak sulungnya perempuan, dan limaorang kakak laki-laki. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya.
Pada saat itu sepuluh tahun yang lalu, kami datang melayat ke rumahnya, merasa trenyuh dengan nasib bayi kecil dan enam orang kakaknya. Tak ada sanak saudara di kota ini, mereka tinggal di pulau yang berbeda.
Ah, Zaki..., sekecil itu, sudah tak beribu!
Mereka tinggal di rumah sewaan, dengan kamar mandi umum di luar, khusus untuk para penghuni kontrakan yang berjumlah 3 petak.
Ketika Zaki berumur empat tahun, kakak perempuannya menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai kuli bangunan. Ayahnya pulang ke kampung halaman, nun jauh di seberang sana, dengan alasan mencari pekerjaan.
Praktis, Zaki kecil hanya diasuh oleh lima orang kakak laki-lakinya, karena kakak perempuannya tinggal di kontrakan yang berbeda. Seringkali baju Zaki tak disetrika, dan jarang sekali sarapan.
Kini tinggal Zaki yang masih bersekolah, kakak-kakaknya telah lama putus sekolah, dan bekerja. Ada yang bekerja di bengkel, di tempat cuci motor, ada pula yang menjadi tukang parkir.
Saat lomba menggambar dan mewarnai dimulai, kulihat Zaki meminjam pensil warna sana-sini, dan ditolak.
"Ayo, saling berbagi, Nak. Pinjami temanmu pensil warna!" ujarku.
Alhamdulillah, ada anak perempuan yang mau meminjamkan.
"Ini punya saya, Bu!" katanya sambil menyodorkan pensil warnanya.
"Makasih, cantik!" kataku sambil kuacungi jempol.
Zaki sangat bahagia dan tampak serius melukis. Lukisannya tampak indah, dengan gradasi warna yang cukup bagus untuk anak seusianya.
Saat Tim Juri mengumumkan kejuaraan, tak kusangka ternyata nama Zaki meraih juara kedua! Dia segera berlari ke arahku dan menyalamiku dengan senyuman yang lebar, sebelum naik ke atas panggung.
"Selamat, ya, Nak!" kuusap kepalanya dengan bangga.
"Makasih, Bu!" suaranya tercekat di kerongkongan.
Para pemenang berfoto dengan senyum semringah, tetapi kulihat Zaki berkali-kali mengusap matanya.
Ternyata dia menangis!
Mungkin dia tak menyangka akan mendapat hadiah yang cukup banyak, berupa piala dan alat gambar yang lengkap. Tetapi, bisa juga dia merasa sedih, melihat temannya difoto oleh Bunda mereka masing-masing yang menatapnya dengan penuh cinta.
Zaki, teruslah menjadi anak baik, biar ibumu bangga padamu, Nak! Semoga ayahmu secepatnya bisa kembali berkumpul besamamu di sini, batinku penuh haru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H