Oleh Neni Hendriati
Hm, suasana hari ini sungguh cerah,
Selama seminggu lebih, Tasikmalaya diguyur hujan lebat, bahkan sampai tadi malam, gerimis msih membasahi pelataran. Kini, tak ada lagi, jalanan terlihat kering, cuaca pun terasa hangat.
Cocok nih tuk nyepedah lagi, pikirku. Kebetulan cucu-cucu yang biasa menginap di malam Minggu, masih terlelap. Setelah berpamitan kepada paksu, kukeluarkan sepeda kesayangan, dan udara segar menerpa wajahku
Terlalu pagi nampaknya, tak seorang pun kulihat di lingkungan perumahan.
Bisa dimaklumi, mereka masih menikmati Minggu dengan aktivitas di rumah, bahkan mungkin ada yang masih meringkuk di bawah selimut. Sangat menguntungkan bagiku, yang kadang sering kaget bila berpapasan dengan kendaraan lain, apalagi yang memperdengarkan suara knalpot bising, bikin hati tak tenang.
Berkeliling mengitari perum, tampaknya ide bagus. Kususur jalanan sepi, gang semi gang, mulai dari yang terdekat, sampai di jalanan yang belum pernah kulewati. Luas juga nampaknya perum yang kutempati ini.
Arah lurus ke belakang masjid, suasana sangat sepi. Jalanan agak menanjak, kugenjot sepeda menyusuri jalan di pinggiran sawah, terhalang benteng perumahan. Jejeran rumah, tak terawat, tampak tak berpenghuni. Sayang sekali, padahal, masih banyak di antara kita yang belum memiliki rumah hunian! Dan ini, dibiarkan kosong, tanpa perawatan.
Dengan napas agak ngos-ngosan, sampai juga di jalanan mendatar. Di depanku tampak seorang anak laki-laki, berambut keriting kemeraham, berjalan sendirian.
Wah, berani betul, Nak! batinku.
Dia mengenakan jeans biru, kaos kuning berbunga-bunga. Mungkin jaman sekarang, anak laki-laki juga senang dengan bunga. Kulewati dia, dan sempat kulirik, dia tengah menatapku, dengan tatapan kosong dan wajah putih pucat. Serasa ada yang berdesir di jantunku, entah apa. Kuajak senyum, dia melengos dan menunduk. Ah, mungkin dia takut melihatku. Segera kukayuh sepeda meninggalkannya.
Baru beberapa meter, rasa penasaran tentang anak pemberani itu, membuatku menghentikan sepeda dan kutengok ke belakang. Lho, kok gak ada? Aku terkejut! Kutengok kiri kanan, tak ada anak itu. Ke mana perginya?
Kalau diamati, tidak ada jalan yang dapat dilalui ke kanan atau ke kiri, karena sebelah kiri adalah benteng,pemisah sawah dan perumahan, sebelah kanan adalah rumah-rumah kosong dengan pagar terkunci.
Seketika kurasakan bulu kuduk merinding, segera kubalikkan sepeda, menyusur jalan yang telah kulewati. Tetap tak kutemukan anak itu!
Sesaat aku termangu di tengah jalan, suasana lengang, semakin membuatku ketakutan. Segera ku berlalu dari situ. Pulang! Itu yang kupikirkan.
Kukayuh sepeda, menyusuri jalanan, dan kulihat di depan, masjid yang tadi kulalui. Ada sedikit rasa lega, berarti aku masih di jalan yang benar!
Jalan-jalan hari ini kuurungkan.
Masih kupikirkan, siapa anak berwajah pucat misterius itu.
Mungkinkah dia...? Hiy,
Ah!
(Tulisan pernah diterbitkan di jurdik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H