Sore yang cukup cerah, saatnya mengasuh Cici dan Dede, nama kedua cucuku. Mereka sangat senang bersepeda . Kuturuti ajakan mereka, dan berjalan mengikuti arah sepeda mereka.
"Jangan ke sebelah sana, Ya?' aku menunjuk belokan ke arah kiri.
"Kenapa, Nek?" Cici menatapku heran.
"Terlalu jauh!" ucapku sekenanya.
Padahal bukan itu yang kumaksud. Aku malas, ada seseorang yang pernah berhutang, kini seperti menghindariku. Aku tak pernah mengungkit, dan tetap bersikap ramah saat bertemu. Bahkan, dalam hati, aku sudah mengikhlaskan. Aku berhusnuzon, mungkin dia malu!
"Aah, Nenek, kok melamun!" suara Cici membuyarkan ingatanku.
"Apa, Ci?" tanyaku gelagapan
"Mau ke sana!" Cici dan Dede menjawab serempak.
Dengan berat hati, aku mengiyakan.
"Ya, deh! Tapi, sekali aja, ya!"
Keduanya mengangguk riang, dan segera menggenjot sepeda roda tiganya menuju ke arah kiri.
Yang kukhawatirkan terjadi. Ketika mendekati rumahnya, kulihat dengan ekor mata, dia sedang duduk santai. Dan begitu melihatku dari kejauhan, dia segera berlari masuk, dan, brak! Pintu ditutup sekencang-kencangnya.
Terasa seperti ada bom meledak di kepalaku. Kalau tak kutahan, mungkin aku akan mendampratnya. Untunglah, kesadaran masih berpihak kepadaku.
Kuusap dada, dan segera berlalu dari situ.
Hai, tetangga, mengapa memusuhiku?
Mengapa memblokir nomorku?
Aku sudah ikhlaskan hutangmu.
Tak perlu malu. Kita bercanda seperti dulu
Kalimat-kalimat itu berputar di dadaku, mudah-mudahan dia mendengar bisikan hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H