Oleh Neni Hendriati
Mampir di warung langganan di Cigeureung menjadi rutinitasku.
"Ini pesanannya, Bu!" Bi Lela menyodorkan kresek berisi tiga bungkus tahu favorit. Ya, karena suka kehabisan kalau pulang sekolah, kemarin kupesan saja tiga bungkus. Alhamdulillah, bisa makan tahu panas dicocol sama kecap dan cabai rawit. Hm mantap!
Selesai belanja ini itu keperluan dapur, segera kumenuju motorku, dan kugantungkan belanjaan di kaitan yang biasa.
Belanjaanku tiba-tiba terjatuh, refleks aku segera turun dari motor. Kuamati sambil berjongkok, ternyata gantungannya hilang, bahkan ada bekas patahannya!
Ini pasti kerjaan anak-anak di sekolah! Teganya mereka mematahkan gantungan di motorku! Tak henti aku ngedumel dalam hati! Kemarin pulang sekolah, suara motorku berubah seperti motor pembalap, menderu bising. Ketika kulihat, ternyata ada botol bekas minuman, di sela ban dan knalpot.
Dengan hati mendongkol, aku berdiri, dan sangat terkejut, tiba-tiba saja seorang Bapak sudah berdiri di dekat motorku.
"Kenapa, Bu?" tanyanya sambal memandangku penuh selidik.
"Ini, gantungan motorku patah, Pak!" jawabku dengan nada sedih.
Aneh sekali, Bapak-bapak tersebut mesem-mesem.
"Ini motor saya, Bu. Motor Ibu mungkin yang sebelah belakang!" katanya sambil menaiki motor, dan berlalu di hadapanku.
"Astagfirullah!" aku terkejut. Buru-buru kuhampiri motorku, dan ternyata masih ada gantungannya! Hore...
Pantas saja Si Bapak tadi seperti mencurigaiku, karena clingak-clinguk, bahkan menaiki motornya.
Tanpa ba-bi-bu, aku segera berlalu dari situ.
Anak-anak, maafkan Ibu sudah berburuk sangka kepada kalian, bisik hatiku.
Love you all.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H