"Sayang, Bunda, sampai kapan mau menyembunyikan semuanya dari aku? Hampir setiap malam Bunda mengalami kejadian ini. Dan hampir setiap saat pula aku diliputi kecemasan setiap kali Bunda mulai terlelap. Aku selalu bertanya dalam hati, mungkinkah malam ini engkau akan terbangun lagi dalam keadaan histeris seperti ini."
      "Ayah...," potongku cepat sebelum dia melanjutkan kata-katanya.
      "Iya, Sayang," jawabnya sambil tak sedetikpun memalingkan matanya dariku.
      Pelan kuangkat kepalaku. Kucoba beranikan diri menemukan matanya. Mata yang selalu memancarkan kasih, sayang, dan cinta yang luar biasa untukku. Mata yang membuatku selalu ingin kembali padanya, pada rengkuhnya, peluknya, dan rimbun cintanya.
      "Sejak kita dipertemukan kembali, tak ada yang lain lagi yang kuinginkan di dunia ini selain menjadi seorang ibu. Tahun berganti, yang ada tetap kita berdua. Hingga mimpi-mimpi indah itu selalu datang dalam malam-malamku. Setiap akhir bulan aku bermimpi menimang seorang bayi. Bayi yang montok menggemaskan. Aku selalu terbangun dengan tersenyum setiap mimpi itu berakhir. Empat bulan berturut-turut. Lalu, suatu malam, aku dikejutkan dengan sebuah mimpi buruk. Bayi itu tak lagi ada dalam  pelukanku. Bayi itu hilang. Sekarang,  aku selalu bermimpi adegan yang sama, saat bayi itu direnggut sesuatu dariku. Dan aku tak pernah bisa mengambilnya kembali. Sampai malam ini aku tak pernah melihatnya lagi. Aku selalu didera rasa takut, Yah. Takut mimpi buruk itu benar-benar terjadi. Semakin hari rasa kehilangan itu semakin kuat. Hingga membuat dadaku sesak. Kehilangan itu serasa nyata, Yah. Nyata...! Huk huk huk." Akhirnya tangisku pecah.
      Lengan kokohya sigap menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mataku pun menumpahkan air bah yang selama ini kubendung. Tak tahan lagi rasanya menyimpan kegalauan ini sendirian. Aku takut. Aku takut tak lagi punya kesempatan mewujudkan cita-citaku untuk menjadi seorang ibu, yang mengandung dan membesarkan anaknya sendiri.
      "Sabar yaa, Sayang. Kalau sudah waktunya, pasti akan kita dapatkan." Hibur  Suamiku yang selalu optimis.
      "Amin," jawabku pelan di antara isak tangisku.
***
      "Bunda, jangan lupa minum susu yaa, aku berangkat dulu," pesan suamiku sambil berjalan ke garasi untuk memanaskan mobilnya.
      "Siap, Bos!" jawabku.