"Mana ada yang mau? Di jaman sekarang yang lagi-lagi sulitnya, di saat global krisis lebih utama memenuhi kebutuhan primer daripada beli-beli beginian. Buat apa?" jawab suami sambil terkekeh.
Berhari-hari setelahnya, ikan arwana masih hidup saja. Namun, tetap tidak nafsu makan. Terlihat lemas. Gerakannya tidak seagresif biasanya. Seperti hidup segan. Apakah dia stres karena tidak ada teman yang menenami di akuarium?Â
Semalam, suami menyampaikan ikan arwana sebentar lagi akan mati. Saya bilang dimatikan saja dulu lalu disimpan di freezer. Ya kali nunggu ikannya mati baru dimakan? Apa itu namanya bukan bangkai? Eh, kalau ikan mah tidak berlaku ya?
"Emang boleh ikan arwana dimakan?" tanya saya.
"Boleh, nggak ada larangan makan ikan arwana," jawab suami.
Untuk menyakinkan, saya pun googling dan menemukan jawaban dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa konsumsi ikan arwana diperbolehkan. "Mengonsumsi ikan arwana boleh-boleh saja, seperti ikan pada umumnya" begitu kutipan yang saya baca. Ok, baiklah. Saya pun lega.
"Jasad" ikan arwana akhirnya disimpan difreezer. Kalau saat itu saya mengolahnya malas. Sudah lelah juga. Lagian masih ada lauk di meja makan.
"Besok, daddy beli bumbunya. Beli apa aja?" tanya suami.
"Bawang putih, bawang merah, cabe, tomat, daun salam, daun sereh," jawab saya. Memang bumbu-bumbu itu tidak ada di dapur. Sudah berminggu-minggu ini saya malas masak. Jadi, beli masakan matang saja di warung nasi atau warung padang dekat rumah. Simpel, kan? Suami yang beli, bukan saya hehehe...
Paginya, sepulang mengantarkan si bungsu ke sekolah, suami beli bumbu-bumbu itu. Suami pun bersiap berangkat kerja. Kemarin kerjanya di rumah, jadi suami harus ke kantor. Minimal suami ke kantor itu, 2 kali dalam seminggu, selebihnya remote.