Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

UU PKDRT Sudah 19 Tahun tapi Kasus KDRT Masih Tinggi

18 Oktober 2023   23:08 Diperbarui: 18 Oktober 2023   23:48 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah "berusia" 19 tahun. Hampir dua dekade! 

Sayangnya, kehadiran UU ini belum mampu menekan angka KDRT di Indonesia. Angkanya masih tinggi! Lihat saja data yang ditunjukkan dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15- 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. 

Dari data tersebut juga menunjukkan 1 dari 9 (11,3%) perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik (8,2%) dan/atau seksual (5,7%) oleh pasangan selama hidupnya.

Sementara itu, Komnas Perempuan dan Layanan Pengaduan Terpadu mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus. 

Dari total jumlah tersebut, ada 61 persen kasus yang terjadi di ranah privat atau rumah. Sebagian besar (91 %) adalah kasus KDRT. Korbannya adalah istri dan anak dengan pelaku suami atau ayah. 

Bentuk kekerasan yang dilakukan  suami atau pasangan, terbanyak berupa pembatasan perilaku. Dengan prosentasi 30,9% selama hidup dan 22% setahun terakhir. 

Munculnya bentuk kekerasan jenis ini karena sebagian besar persepsi perempuan menyatakan setuju bahwa "istri yang baik harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri".

Sementara itu, kekerasan yang dilakukan orang lain atau bukan pasangan adalah 20% selama hidupnya secara fisik (15,4%) dan/atau seksual (5,2%); dan 6% dalam setahun terakhir. 

Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh bukan pasangan, paling banyak berupa dikirimi pesan berbau seksual lewat medsos, perilaku bicara, komentar berbau seksual, diperlihatkan gambar berbau seksual, dan disentuh atau diraba bagian tubuhnya.

sumber foto: possore.id
sumber foto: possore.id

Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari- Desember 2022, tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 73,1% (8.432 kasus). Adapun pelakunya sebagian besar adalah suami 56,3%.

Lantas apa yang salah? Minggu 14 Oktober 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengajak berbagai pihak untuk menggaungkan "Gema Kolaboratif Multistakeholders Menghapuskan KDRT di Ruang Publik". Kegiatan Kampanye Jelang 2 Dekade UU PKDRT ini difokuskan di area Car Free Day FX Sudirman, Jakarta Pusat

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga yang hadir dalam kegiatan itu mengajak semua stakeholder, terutama organisasi perempuan, untuk menggaungkan komitmen bersama dalam melindungi perempuan dan anak dari kekerasan.

"Kita tunggu aksi semua pihak untuk bersama-sama menggaungkan UU PDKRT dan mengawal setiap kasus KDRT yang ada di lapangan," tandas Bintang.

Pihaknya menyerukan kepada para perempuan untuk berani bersuara demi melawan KDRT. Jika tidak berani bersuara, maka kasus KDRT yang sama akan terus berulang. 

Karena itu, masyarakat tidak perlu ragu untuk melaporkan kasus KDRT. Semakin banyak kasus yang terungkap, semakin banyak memberikan keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku. Karena konsekuensi dari pemberlakuan UU tersebut, pelakunya bisa dikenakan sanksi penjara.

Kementerian PPPA sendiri sudah melakukan sosialisasi "Dare to speak up" atau berani bersuara sejak 2021 sebagai langkah awal agar para korban dan saksi bisa melapor.

Dilengkapi pula dengan Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang terintegrasi ke 34 provinsi di seluruh Indonesia. SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 129, WhatsApp (WA) 08111129129, serta aplikasi SAPA 129 yang tersedia di PlayStore.

Menurutnya, perlawanan terhadap KDRT, penting untuk dilakukan mengingat negara telah memiliki UU PKDRT yang telah berusia hampir dua dekade. UU tersebut dapat menjadi dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada korban, dan sanksi bagi pelaku KDRT.

Hadir dalam kegiatan ini berbagai organisasi masyarakat, tokoh agama, lembaga layanan, aktivis hak asasi manusia, dunia usaha, penyandang disabilitas, buruh, hingga penyintas kekerasan. Tampak hadir artis Nova Eliza Ketua Yayasan Suara Hati Perempuan, dan berbagai komunitas lainnya.

Dokumentasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani)
Dokumentasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani)

Dua sebab angka KDRT masih tinggi

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo, ada dua sebab yang membuat UU PKDRT belum sepenuhnya bisa meminimalisir kasus-kasus KDRT. Pertama, adanya anggapan KDRT adalah aib rumah tangga. Karena dianggap aib, masyarakat cenderung malu bahkan menutupi kasus KDRT. 

"Yang namanya aib identik dengan sesuatu hal yang memalukan. Jadi, sebisa mungkin harus ditutupi. Jangan sampai ada orang yang tahu. Nah, anggapan ini membuat KDRT tetap terjadi," tutur mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang ditemui di sela kegiatan.

Penyebab kedua yaitu proses penanganan laporan kasus KDRT yang sangat panjang dan berbelit. Ini yang membuat masyarakat maupun korban KDRT enggan untuk melaporkan kasusnya. Mungkin sudah melapor tetapi butuh saksi-saksi, yang ternyata prosesnya berbelit. 

"Padahal meminta orang lain untuk jadi saksi KDRT juga tidak mudah, tidak semua orang mau. Banyak yang tidak mau repot dan tidak mau melibatkan diri pada persoalan keluarga lain," jelas Giwo.

Itu sebabnya, kasus KDRT yang terjadi di rumah tangga masyarakat ibarat seperti gunung es yang hanya terlihat puncaknya.
Kasus yang terekspos ke publik hanya segelintir saja.

Melihat dua hal yang menjadi pemicu masih tingginya angka KDRT, Giwo meminta pemerintah untuk mengevaluasi sekaligus mengawal implementasi UU PKDRT di lapangan. 

Pihaknya juga mengkritisi ketidakjelasan instansi yang bertanggungjawab penuh terhadap implementasi UU PKDRT ini. Produk sudah diluncurkan, namun instansi yang bertanggungjawab  penuh terhadap implementasi UU juga tidak jelas. 

"Jadi ketika menggolkan UU PKDRT maupun produk undang-undang perlindungan pada perempuan lainnya, seolah hanya mengejar yang penting UU sudah ada, sedang implementasinya bagaimana, tidak jelas. Harus jelas siapa yang mengawal UU ini di lapangan," tegas Giwo.

Karena itu, sebagai pihak yang turut menginisiasi lahirnya UU PKDRT, Giwo berharap menjelang dua dekade UU PKDRT, pemerintah termasuk lembaga legislatif untuk mengevaluasi kembali UU tersebut. Perlu juga dilakukan kajian akademik terkait hal-hal teknis di lapangan. 

Harus diingat UU ini lahir atas keinginan negara untuk melindungi hak asasi manusia di lingkup rumah tangga, khususnya perempuan. Bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Giwo juga menyoroti masih sangat minimnya pos-pos pengaduan kasus KDRT di ruang publik. Beberapa pos pengaduan hanya disediakan di kantor-kantor miliki pemerintah, rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan lain. 

Sementara di ruang publik, pos pengaduan KDRT nyaris tidak ada. Coba perhatikan di mal-mal, di terminal bus dan bandara apakah  ada?  Menurut Giwo, tanpa kemudahan menemukan pos pengaduan, korban akan bingung ke mana harus melaporkan jika mengalami KDRT. Karena, kasus KDRT tidak melulu terjadi di ranah privat, di ruang publik pun kerap terjadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun