Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah "berusia" 19 tahun. Hampir dua dekade!Â
Sayangnya, kehadiran UU ini belum mampu menekan angka KDRT di Indonesia. Angkanya masih tinggi! Lihat saja data yang ditunjukkan dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15- 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.Â
Dari data tersebut juga menunjukkan 1 dari 9 (11,3%) perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik (8,2%) dan/atau seksual (5,7%) oleh pasangan selama hidupnya.
Sementara itu, Komnas Perempuan dan Layanan Pengaduan Terpadu mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus.Â
Dari total jumlah tersebut, ada 61 persen kasus yang terjadi di ranah privat atau rumah. Sebagian besar (91 %) adalah kasus KDRT. Korbannya adalah istri dan anak dengan pelaku suami atau ayah.Â
Bentuk kekerasan yang dilakukan  suami atau pasangan, terbanyak berupa pembatasan perilaku. Dengan prosentasi 30,9% selama hidup dan 22% setahun terakhir.Â
Munculnya bentuk kekerasan jenis ini karena sebagian besar persepsi perempuan menyatakan setuju bahwa "istri yang baik harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri".
Sementara itu, kekerasan yang dilakukan orang lain atau bukan pasangan adalah 20% selama hidupnya secara fisik (15,4%) dan/atau seksual (5,2%); dan 6% dalam setahun terakhir.Â
Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh bukan pasangan, paling banyak berupa dikirimi pesan berbau seksual lewat medsos, perilaku bicara, komentar berbau seksual, diperlihatkan gambar berbau seksual, dan disentuh atau diraba bagian tubuhnya.