Dua sebab angka KDRT masih tinggi
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo, ada dua sebab yang membuat UU PKDRT belum sepenuhnya bisa meminimalisir kasus-kasus KDRT. Pertama, adanya anggapan KDRT adalah aib rumah tangga. Karena dianggap aib, masyarakat cenderung malu bahkan menutupi kasus KDRT.Â
"Yang namanya aib identik dengan sesuatu hal yang memalukan. Jadi, sebisa mungkin harus ditutupi. Jangan sampai ada orang yang tahu. Nah, anggapan ini membuat KDRT tetap terjadi," tutur mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang ditemui di sela kegiatan.
Penyebab kedua yaitu proses penanganan laporan kasus KDRT yang sangat panjang dan berbelit. Ini yang membuat masyarakat maupun korban KDRT enggan untuk melaporkan kasusnya. Mungkin sudah melapor tetapi butuh saksi-saksi, yang ternyata prosesnya berbelit.Â
"Padahal meminta orang lain untuk jadi saksi KDRT juga tidak mudah, tidak semua orang mau. Banyak yang tidak mau repot dan tidak mau melibatkan diri pada persoalan keluarga lain," jelas Giwo.
Itu sebabnya, kasus KDRT yang terjadi di rumah tangga masyarakat ibarat seperti gunung es yang hanya terlihat puncaknya.
Kasus yang terekspos ke publik hanya segelintir saja.
Melihat dua hal yang menjadi pemicu masih tingginya angka KDRT, Giwo meminta pemerintah untuk mengevaluasi sekaligus mengawal implementasi UU PKDRT di lapangan.Â
Pihaknya juga mengkritisi ketidakjelasan instansi yang bertanggungjawab penuh terhadap implementasi UU PKDRT ini. Produk sudah diluncurkan, namun instansi yang bertanggungjawab  penuh terhadap implementasi UU juga tidak jelas.Â
"Jadi ketika menggolkan UU PKDRT maupun produk undang-undang perlindungan pada perempuan lainnya, seolah hanya mengejar yang penting UU sudah ada, sedang implementasinya bagaimana, tidak jelas. Harus jelas siapa yang mengawal UU ini di lapangan," tegas Giwo.
Karena itu, sebagai pihak yang turut menginisiasi lahirnya UU PKDRT, Giwo berharap menjelang dua dekade UU PKDRT, pemerintah termasuk lembaga legislatif untuk mengevaluasi kembali UU tersebut. Perlu juga dilakukan kajian akademik terkait hal-hal teknis di lapangan.Â
Harus diingat UU ini lahir atas keinginan negara untuk melindungi hak asasi manusia di lingkup rumah tangga, khususnya perempuan. Bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.