Sri pun diantar pulang oleh Sugik, supir Mbak Karsa. Sri baru mengetahui cerita siapa sesungguhnya yang memulai "perang santet". Jika Sugik tidak menceritakan itu semua, mungkin seumur hidup Sri tidak mengetahuinya. Terlebih ketika Sri bertanya kepada Mbah Karsa, si Mbak tidak mau menceritakan yang sesungguhnya.
Tidak ada yang bisa saya kritik mengenai film ini. Penampilan karakter Della yang kesurupan juga sangat bagus. Makeup-nya sangat menyakinkan. Percakapan dalam bahasa Jawa juga diberikan subtitle dalam bahasa Inggris sehingga memudahkan untuk memahami alur cerita.
"Kekurangan" dari film ini mungkin karakter para pemainnya yang kurang mendalam saja. Latar belakang dari beberapa tokohnya kurang terungkap secara jelas. Jika sedikit lebih detil, mungkin bisa menjadi sosok yang ikonis.
Selain itu, rumah Karsa Atmojo terasa kurang megah dan tradisional. Mungkin karena settingnya yang tidak keseluruhan menampakkan rumah orang kaya itu.
Gambaran kuyang Sengarturih dalam Sewu Dino terlihat seperti sosok hantu di film Inhuman Kiss (2019) asal Thailand. Entah apakah memang memiliki sosok hantu yang sama? Meski demikian, tidak terlalu memengaruhi alur cerita intinya.
Menurut saya, film ini nyaris sempurna. Anak-anak juga memberikan penilaian yang sama. Tidak seperti film horor terakhir yang ditontonnya. Film horor tapi pengambilan gambar, setting, alur cerita, seperti di sinetron.Â
Dari rate 1 - 10, anak-anak menyebut angka 9 - 10 untuk film Dino Sewu. Film ini cukup memuaskan anak-anak saya yang memang suka menonton film horor. Setidaknya terlihat dari wajahnya yang puas karena sesuai ekspektasi.
Penasaran? Tonton saja. Seminggu baru dirilis saja penontonnya tembus lebih dari 1 juta lho. Itu artinya, film ini begitu disukai banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H