Adapun skoliosis yang disebabkan oleh non struktural terjadi akibat kesalahan aktivitas yang dilakukan terus-menerus sehingga ada perubahan bentuk di tulang bagian belakang.Â
Posisi duduk yang salah akan menyebabkan nyeri punggung, sakit leher, badan pegal-pegal. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi perubahan bentuk tulang belakang. Salah satunya, adalah skoliosis.
World Health Organization (WHO) mencatat setidaknya 3% warga di dunia rentan terkena penyakit skoliosis. Di Indonesia sendiri prevalensi skoliosis sekitar 3%-5%.
Pada skoliasi yang bersifat ringan, umumnya tidak menampakkan gejala. Perubahan bentuknya pun tidak nampak jelas. Berbeda pada kelainan skoliosis yang berat, perubahannya bersifat progresif, tampak perubahan bentuk, rasa pegal atau nyeri pada punggung, dan gangguan pernafasan.
Lengkungan yang parah dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada punggung. Tulang belakang juga bisa berputar sehingga lengkungan bertambah parah. Tidak hanya itu. Salah satu tulang rusuk atau otot di satu sisi tubuh tampak menonjol daripada sisi lainnya.
"Skoliosis ini tidak boleh diabaikan. Karena selain sering menimbulkan rasa nyeri atau pegal serta gangguan pernafasan, skoliosis juga mengganggu penampilan," ujarnya.
Menangani skoliosis
Disarankan untuk melakukan screening skoliosis sejak anak-anak. Tindakan ini dapat membantu penanganan skoliosis lebih cepat atau sejak dini. Terpenting pada skoliosis adalah deteksi dini.Â
Umumnya lengkungan skoliosis dapat diobati tanpa tindakan bedah jika kelainan ini diketahui sejak dini dan sudut kelengkungan belum terlalu besar. Salah satu cara deteksi dini skoliosis adalah dengan skrining skoliosis di sekolah-sekolah.
Jika ditemukan ada gejala ke arah skoliosis seseorang dapat memeriksakan diri ke dokter. Dokter akan memastikan gangguan ini dengan melakukan pemeriksaan rontgen dan CT csan. Dari hasil pemeriksaan ini, dokter akan melakukan penanganan berdasarkan hasil pengukuran skoliosis pada rontgen.