"Matahari...di manakah kau...?"Â
Bertanya pada air laut, ia hanya berbisik lirih. Katanya, matahari tengah bersedih sebenarnya. Ia ingin menyapa tapi terhalang oleh gumpalan awan yang hitam pekat. Ceria sang mentari akhirnya tidak sampai ke bumi. Bahkan, tidak jua tembus di sela-sela awan.
Saya memandangi perahu yang tengah berlayar, barangkali senyum mentari terselip di sana. Tapi tetap kelabu. Tidak ada senyuman. Wajah nelayan begitu datar. Hello come on, semangatlah. Ini hari pertama tahun 2023. Sambutlah dengan penuh suka cita.
Kami melangkahkan kaki menuju arah Barat. Siapa tahu matahari tersembul di sana. Kami dapati para nelayan tengah menyandarkan kapal-kapal "wisata"nya. Wajah-wajahnya legam yang sudah dipastikan akibat terpanggang matahari. Ah, tidak ada juga semburat mentari.
Hingga sampailah kami di Stasiun Gondola. Itu lho kereta gantung. Semula kami ingin menaiki ini agar kami bisa mengejar matahari. Mungkin jika dari ketinggian, kami bisa melihat matahari menyembulkan kepalanya dan tersenyum ke arah kami.
Sayangnya, stasiunnya masih tutup. Kata petugas, jam operasional dibuka pada pukul 10.00. Wah, 3 jam lagi dong. Masih lama juga. Harga tiket naik gondola ini Rp75.000 perkepala. Kalau anak-anak, katanya tidak full, tergantung seberapa tinggi anak tersebut. Jika tinggi anak melebihi batas yang ditentukan, maka tarifnya dihitung dewasa.Â
"Ibu mau naik gondola?" tanya petugas itu yang saya jawab iya.
"Nanti balik ke sini aja jam 10. Kalau sekarang belum buka," ujarnya tersenyum.Â
Kami pun memutuskan untuk kembali ke tenda. Dalam perjalanan, hujan kembali turun. Untung kami membawa payung. Hujan membuat mentari semakin tidak terkejar. Semakin melangkah, hujan kian deras. Apakah ini air mata mentari yang tumpah karena tidak kuat menahan kesedihan? Entahlah.
Sebelum ke tenda, kami mampir ke minimarket untuk berbelanja camilan sebagai pengganjal perut. Anak saya ingin makan onigiri, makanan orang Jepang berupa nasi yang dipadatkan. Bentuknya ada yang segitiga, bulat, atau seperti karung beras.