Ini masih kelanjutan dari kisah daun selada. Jika dua hari lalu bikin omelet daun selada, kemarin bikin sup krem daun selada (tapi tidak sempat saya upload karena aktifitas saya yang lumayan menguras waktu), hari ini saya bikin selai daun selada.
Kebetulan masih ada daun selada. Cukuplah itu untuk bahan membuat selai. Saya mau bereksperimen, apakah berhasil? Soalnya, ini pertama kalinya saya membuat selai, dan pertama kalinya juga membuat selai dari daun selada. Sepertinya sih cara membuatnya simpel, tidak ribet.
Ok, saya siapkan bahan-bahannya. Beberapa lembar daun selada dipotong-potong, satu butir telur ayam ambil kuningnya saja dikocok, 100 gram gula pasir, 1 sendok teh vanila, dan 1 sdm tepung terigu yang dilarutkan.
Rebus gula pasir dalam 100 mil air, diaduk-aduk sampai larut dan agak mengental, masukkan kuning telur dan vanila, aduk-aduk, masukkan daun selada, aduk-aduk, masukkan larutan tepung terigu. Aduk-aduk.
Setelah mengental, matikan kompor. Masukkan selai ke wadah dan tiriskan. Siapkan selembar roti olesi dengan selai, tambahkan keju slice, olesi lagi dengan selai, tutup deh dengan selembar roti tawar lagi.
Jadi deh roti lapis isi selai selada ala Chef Bunda Tety. Prosesnya benaran tidak butuh waktu lama. Tidak sampai 30 menit. Simpel banget kan? No ribetlah pokoknya hehehe...
Karena selai ini ala-ala saya jadi harap dimaklumi saja jika tidak sesuai dengan tekstur selai-selai yang biasa kita makan. Namanya juga bereksperimen. Sepertinya saya perlu try and error untuk menghasilkan selai selada yang benar-benar ok.
Saya sajikan di meja makan. Apakah anak-anak suka? Apakah anak-anak akan menyantapnya? Taraa... ternyata kata anak-anak enak. Padahal, ini baru pertama kalinya juga anak-anak mengonsumsi selai dari daun selada.
"Kemanisan nggak?" tanya saya.
"Nggak, pas," jawab anak kedua saya.
Alhamdulillah, masing-masing anak menghabiskan setangkup roti selai itu. Saya tawari apakah mau menambah, katanya sudah kenyang.
Syukurlah. Berarti eksperimen saya ini bisa dibilang cukup berhasil. Kalau kata Dora The Explorer, "Berhasil, berhasil, berhasil!"
Setelah sarapan, anak-anak pun bersiap berangkat ke sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB. Bisa dibilang  ini sudah terlambat.  Bisa-bisa sampai di sekolah pukul 07.00 lewat. Padahal, seharusnya sampai di sekolah itu pukul 06.45 WIB.
Tapi saya yakin sekolah akan memaklumi keterlambatan anak-anak. Saya yakin juga yang terlambat bukan hanya anak-anak saya saja. Faktornya karena hujan yang turun dari pukul 03.00 dini hari belum juga berhenti.
"Hujan, Bund," kata anak pertama saya.
"Kalau mau meraih masa depan gemilang, apapun kondisinya harus dihadapi. Gunung didaki, lautan diseberangi, sungai dilalui, badai diterjang, hujan pun diterobos," kata saya bagaikan seorang motivator.
Setelah membaca doa, motor pun melaju menerobos hujan yang belum juga mau berhenti. Langit masih saja menangis, menumpahkan keluh kesahnya yang setelah sekian lama dipendamnya.
Demikian. Terima kasih. Selamat beraktifitas. Langit kelabu bukan berarti hati ikutan kelabu. Semangatttt...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H