Tiga bulan sudah Kurikulum Merdeka diterapkan di sekolah anak-anak saya yang SMA. Jika di kurikulum sebelumnya ada Penilaian Tengah Semester (PTS), maka di Kurikulum Merdeka tidak ada.Â
"Kak, kok nggak belajar, besok bukannya PTS?" kata saya kepada anak kedua saya beberapa waktu lalu.
"Kakak mah nggak ada PTS," jawabnya.
"Kok Adelia PTS hari ini?" kata saya heran.
"Ya nggak tahu," katanya.
"Kak Putik, hari ini ulangan apa?" tanya saya pada anak pertama saya, ketika saya bergeser ke kamarnya.Â
"Kakak mah nggak ada ulangan," jawabnya.
Heran dong saya. Belakangan saya baru tahu kalau di Kurikulum Merdeka tidak ada PTS. Dan, ini juga berlaku pada siswa kelas XI dan XII meski kakak kelas menerapkan Kurikulum 2013 atau kurtilas.Â
Setidaknya begitu penjelasan Wali Kelas X-6 SMA Negeri 3 Depok, Sandria Fathurahman, saat ada pertemuan informal dengan wali murid pada Minggu 25 September 2022, di Studio Alam TVRI.Â
Baca juga:Â Tidak Ada KKM di Kurikulum Merdeka
Jadi, apa yang dinilai jika tidak ada PTS? Ternyata, di dalam Kurikulum Merdeka, terdapat dua bentuk penilaian (asesmen), yaitu Penilaian Formatif dan Penilaian Sumatif.Â
Keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar, meski sama-sama berfungsi sebagai asesmen di dalam pembelajaran. Penilaian formatif lebih kepada bagaimana untuk memperbaiki nilai ke depannya jika nilai dianggap masih kurang.
Sementara penilaian sumatif adalah penilaian terakhir yang digunakan untuk menilai apakah siswa naik kelas atau tidak. Artinya, penilaian diberikan setelah proses belajar selama satu tahun selesai.
Asesmen atau penilaian merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
Adapun yang menjadi nilai dalam raport bayangan ini adalah berdasarkan ulangan harian dan tugas kelompok dalam pengerjaan proyek-proyek.Â
Tapi bukan hanya sekedar nilai berupa angka. Penilaian juga berdasarkan disiplin, kerjasama, inisiatif, kreatif dan nilai spiritual lainnya.
Jumat 22 Oktober 2022, ada pembagian raport bayangan yang biasanya dibagikan per tiga bulan. Tapi yang menerima raport bukan wali murid melainkan dibagikan kepada siswanya langsung.Â
Mengapa bukan orang tua sebagaimana lazimnya? Tadinya memang pengambilan rapor ini oleh orang tua, dilanjutkan dengan pertemuan kepala sekolah dan Komite Sekolah.
Pertemuan yang baru diadakan setelah 3 bulan masa pembelajaran. Sekaligus pihak sekolah akan menjelaskan apa dan bagaimana Kurikulum Merdeka serta terkait hal-hal lainnya. Undangan sudah dishare di group WA.
Namun, akhirnya tidak jadi. Ada beberapa alasan. Pertama, di sekolah anak saya tengah ada renovasi masjid, jadi dikhawatirkan akan membuat tidak nyaman wali murid dan pekerja.Â
Kedua, ruangan yang tidak memadai untuk menampung semua wali murid. Padahal sih bisa saja dibagi waktunya, menurut saya.
Alasan lainnya, belum ada arahan lagi dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat mengenai pertemuan antara kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua. Mungkin ini yang menjadi alasan utama.
Entah karena apa? Mungkin karena adanya pemberitaan mengenai perlakuan yang tidak mengenakkan antara komite sekolah dengan wali murid di salah satu SMA di Jawa Barat? Pemberitaan yang cukup menyedot perhatian masyarakat juga.
Tujuan pemberian raport bayangan ini sendiri untuk mengevaluasi kegiatan belajar mengajar selama kurang lebih 3 bulan.
Raport bayangan ini terdiri dari 2 lembar. Lembar pertama berisi capaian kompetensi. Lembar kedua berisi narasi mengenai proyek 1 "Bangunlah Jiwa dan Raganya".Â
Sebagaimana namanya proyek 1 adalah proyek pertama di kelas 10. Proyek ini diharapkan membangun 3 dimensi Profil Pelajar Pancasila, yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, bergotong royong, serta kreatif.
Berdasarkan narasi yang saya baca dalam raport bayangan ini, disebutkan pada proyek ini, siswa belajar untuk membuka diri mengenai stigma dan stereotip yang ia punya terhadap orang yang baru dikenalnya.Â
Selain itu, bagaimana siswa mengeksplorasi pengetahuan (dari segi hukum, kebijakan, norma sosial). Siswa juga mengenal lebih dekat keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia, mereduksi prasangka, refleksi diri, dan bersama-sama mewujudkan pelajaran yang mereka dapat melalui aksi nyata.
Sebenarnya banyak orang tua yang belum paham mengenai penilaian ini. Agar mendapatkan penjelasan yang lebih detil, keesokan harinya, Sabtu 22 Oktober 2022, beberapa orang tua murid berkunjung ke kediaman wali kelas X-6 di sekitar Bojong Sari, Depok, Jawa Barat.
Kebetulan juga, istrinya baru saja melahirkan anak pertama. Jadi, sekalian menjenguk sang bayi.Â
Saya dan beberapa orang tua lainnya membawa hasil penilaian tengah semester. Setelah dilihat-lihat, katanya, nilai anak saya aman. Sebisa mungkin harus dipertahankan.Â
Untuk Proyek 1 anak saya berkembang sesuai harapan. Artinya, siswa telah mengembangkan kemampuan hingga berada dalam tahap ajek.Â
Dikatakan, nilai yang didapat anak-anak masih nilai murni. Berbeda dengan raport akhir semester yang nilainya didapatkan berdasarkan hitungan-hitungan dan penilaian lainnya.
Namun, penilaian juga dilihat dari aspek kreatifitas anak. Seperti ujian lisan yang diadakan secara tiba-tiba atau mendadak. Di sini, siswa diajak untuk berpikir, dan menyampaikan pandangannya.Â
"Terlepas apakah yang disampaikan sesuai atau melenceng, tidak masalah. Ini sudah menjadi nilai plus. Ada kemampuan untuk berargumentasi. Jadi tidak semata-mata nilai mata pelajaran bagus tapi diam saja," jelasnya.Â
Terkait ada beberapa kolom yang kosong dan tidak terisi, wali kelas menyampaikan tidak perlu dikhawatirkan. Bukan berarti nilai anak nol. Beda makna kosong dan nol. Kosong berarti belum ada nilai. Nol berarti sudah ada nilai, nilainya nol.
"Kosong ini karena materi pembelajarannya memang belum sampai saja. Jadi, tidak ada nilai. Kolomnya dikosongkan," jelasnya.
Memang sih kalau saya perhatikan di rapot anak saya tidak semua kolom terisi. Dari 6 kolom, ada yang terisi 4 kolom, 3 kolom, 2 kolom, bahkan 1 kolom.
Anak saya sempat menjelaskan sih mengapa tidak ada nilai di kolom-kolom yang kosong karena materi pembelajarannya belum sampai pada penilaian pada kolom yang dimaksud.
Adapun proyek hingga akhir semester yang harus dikerjakan siswa sebanyak 7 proyek. Proyek ini semacam laporan ilmiah yang dikerjakan secara berkelompok.Â
Kerja kelompok ini juga mendapatkan penilaian sendiri. Meski guru tidak ikut terlibat dalam kerja kelompok tersebut, tetapi guru bisa mengetahui karakter para siswanya.
Siapa siswa ikut aktif membantu, siapa siswa yang banyak diam, siapa siswa yang tidak mau mengerjakan secara kelompok, siapa siswa yang tidak pernah memberikan usul atau saran atau ide. Karena dari kerja proyek ini diharapkan terbentuk profil pelajar Pancasila.
"Adalah pokoknya bagaimana menggali untuk menemukan siswa-siswa yang berkarakter seperti itu," katanya.
Penjelasan mengenai Kurikulum Merdeka ini sebenarnya belum tuntas banget. Masih banyak pertanyaan yang ingin diajukan.Â
Tapi berhubung waktu sangat tidak memungkinkan, maka penjelasan akan diberikan pada pertemuan berikutnya. Kapan? Belum tahu juga. Masih belum ditentukan.
Demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H