"Sini nggak ada teh tawar panas, tapi adanya teh premium yang disajikan terpisah. Tehnya belum diseduh," jawab pelayan.
"Ya udah deh, yang penting teh tawar panas," katanya sambil mencatat di lembaran kertas.
Saya sendiri sih pesan es teh leci dan ayam geprek. Teman yang duduk di samping saya juga memesan makanan dan minuman yang sama. Beberapa yang lain memesan makanan dan minuman yang berbeda.
Ketika pesanan ini tiba, ternyata es teh leci-nya ya ampun cuma ada 1 buah leci. Biasanya, di tempat lain sedikitnya 2 atau 3 buah leci dengan harga yang sama. Pelit amat. Kami saling memandang dan tertawa geli.Â
"Ih, masa buah lecinya cuma satu. Aku pikir ada 2 atau 3, kan biasanya memang gitu kalau pesan es teh leci di tempat lain," kata kawan saya.
Ayam gepreknya juga biasa saja. Sambalnya sedikit banget. Bagaimana mau merasakan sensasi gepreknya kalau sambalnya secuil begini. Pelit amat sih! Apa karena harga cabai mahal?Â
Ada juga yang pesan nasi goreng yang katanya spesial. Tapi di lidah kawan yang memesan rasanya manis banget. Entah kecapnya yang terlalu banyak atau memang khasnya di sini begitu? Sampai nasi goreng itu tidak dimakan.
Tidak lama pelayan membawakan 8 gelas air panas berikut 8 keping teh celup yang masih terbungkus. Mereknya Sir Thomas Lipton English Breakfast. Mirip dengan teh merek Dilmah yang biasa saya minum di hotel berbintang lima.
Karena saya lihat masih ada beberapa gelas yang masih utuh berisi air panas, saya tuangkan segelas air panas yang masih utuh itu ke gelas saya yang isinya kebetulan sudah habis. Pemikiran saya gratis karena kan tehnya tidak saya cemplungi.
Ternyata eh ternyata, diseduh atau tidak diseduh tehnya, tetap harus bayar. Dan, itu sudah diinput ke komputer. Harganya... tara... Rp30.000. What? Kaget dong kami. Hello... air putih segelas semahal itu?!