Topik pilihan Kompasiana yang mengupas mengenai minuman manis-manis mengingatkan kisah saya beberapa waktu lalu.Â
Saya bersama 12 orangtua murid eks kelas 9A -- kelas anak kedua saya, mengadakan pertemuan. Ini sih lebih sekedar silaturahmi saja yang dibalut dengan arisan.
Tujuannya sih agar hubungan yang telah terbina selama 3 tahun terakhir tetap terajut meski anak-anak kini lanjut ke tingkat SMA. Tentu saja sambil melepas kangen.
Agenda direkomendasikan di salah satu kafe di bilangan Depok, Jawa Barat. Kalau melihat di Instagramnya, tempatnya ok dan ok juga buat foto-foto. Begitu alasan salah satu dari kami.Â
Ok. No problemo. Bisa nih dijadikan bahan tulisan saya buat direview. Setelah menempuh perjalanan sejauh 9 km dari rumah saya dengan menggunakan ojek online, sampailah saya di sini.Â
Jauh banget ternyata. Saya sampai pegal. Lokasinya dekat permukiman warga. Pantas, tidak ada angkutan umum yang melintasi. Ya, ampun... keluh saya. Dan, tempatnya b saja alias biasa saja.
Beberapa sudah berkumpul. Terlihat penuh tawa dan canda. Sambil menanyakan kabar masing-masing, kami pun memesan makanan, yang sebenarnya tidak ada yang baru juga. Namanya saja yang beda.
"Mas, ini nggak ada teh tawar panas ya?" tanya salah seorang dari kami.Â
Dia mengaku ingin minum yang hangat-hangat yang tanpa gula. Ia tengah mengurangi asupan gula dan minuman yang dingin-dingin. Di usianya yang tidak muda lagi ia merasa sudah sewajarnya membatasi diri mengonsumi yang manis-manis.
Dan, memang di menu yang sudah terlihat lusuh itu minumannya sebagian besar berupa minuman yang disajikan dalam keadaan dingin atau ada esnya. Tidak ada pilihan "hangat atau panas". Termasuk untuk minuman jenis kopi yang dikemas kekinian.
"Sini nggak ada teh tawar panas, tapi adanya teh premium yang disajikan terpisah. Tehnya belum diseduh," jawab pelayan.
"Ya udah deh, yang penting teh tawar panas," katanya sambil mencatat di lembaran kertas.
Saya sendiri sih pesan es teh leci dan ayam geprek. Teman yang duduk di samping saya juga memesan makanan dan minuman yang sama. Beberapa yang lain memesan makanan dan minuman yang berbeda.
Ketika pesanan ini tiba, ternyata es teh leci-nya ya ampun cuma ada 1 buah leci. Biasanya, di tempat lain sedikitnya 2 atau 3 buah leci dengan harga yang sama. Pelit amat. Kami saling memandang dan tertawa geli.Â
"Ih, masa buah lecinya cuma satu. Aku pikir ada 2 atau 3, kan biasanya memang gitu kalau pesan es teh leci di tempat lain," kata kawan saya.
Ayam gepreknya juga biasa saja. Sambalnya sedikit banget. Bagaimana mau merasakan sensasi gepreknya kalau sambalnya secuil begini. Pelit amat sih! Apa karena harga cabai mahal?Â
Ada juga yang pesan nasi goreng yang katanya spesial. Tapi di lidah kawan yang memesan rasanya manis banget. Entah kecapnya yang terlalu banyak atau memang khasnya di sini begitu? Sampai nasi goreng itu tidak dimakan.
Tidak lama pelayan membawakan 8 gelas air panas berikut 8 keping teh celup yang masih terbungkus. Mereknya Sir Thomas Lipton English Breakfast. Mirip dengan teh merek Dilmah yang biasa saya minum di hotel berbintang lima.
Karena saya lihat masih ada beberapa gelas yang masih utuh berisi air panas, saya tuangkan segelas air panas yang masih utuh itu ke gelas saya yang isinya kebetulan sudah habis. Pemikiran saya gratis karena kan tehnya tidak saya cemplungi.
Ternyata eh ternyata, diseduh atau tidak diseduh tehnya, tetap harus bayar. Dan, itu sudah diinput ke komputer. Harganya... tara... Rp30.000. What? Kaget dong kami. Hello... air putih segelas semahal itu?!
Jadi, untuk 8 gelas air putih panas berikut tehnya kami harus membayar Rp240.000. Itu belum termasuk pajak dan biaya service. Kami saling bertanya siapa saja yang memesan teh tawar panas?Â
Perasaan yang pesan seorang kok yang nongol 8 gelas? Awalnya ketika minuman ini tiba, kami tidak punya pikiran macam-macam. Yang ada di pemikiran kami, kalau diseduh baru deh dihitung harus bayar.
Salahnya, kami tidak menanyakan berapa harganya di awal. Di menu juga tidak ada disebutkan. Kalau tahu, mungkin kami tidak jadi memesan. Kalau tahu, kami pesan air mineral biasa saja.
Meski kami terkaget-kaget, kami tertawa juga. Menertawakan kebodohan kami. Ya ampun, kalau makan di warteg teh panas tawar diberikan secara gratis. Bisa nambah malah.Â
"Mas, kalau cuma ambil airnya saja tanpa teh, tetap harus bayar Rp30.000 juga?" tanya saya.
"Iya, Bu," jawabnya.
"Apa nggak bisa bayar airnya aja?" tanya saya lagi untuk memastikan.
"Nggak bisa Ibu, soalnya input di sistem begitu," jawabnya.
Iseng cek di market place sebungkus teh ini yang berisi 25 kantong, harganya Rp130.000. Kalau dibagi 25 berarti per kantong Rp5.200. Mengapa jadi dikenakan Rp30.000? Dan itu belum termasuk pajak dan biaya service. Kalau harganya Rp10.000 atau Rp15.000 saya pikir masih untung itu. Â
Segelas air seharga Rp30.000 itu bisa beli beras 1 liter, telur 1/4 kg dan seliter minyak goreng. Dan, pastinya mengenyangkan. Oh iya dong, di saat harga sembako dan BBM naik, kami yang emak-emak ini jadi perhitungan juga.
Ya sudah, akhirnya saya bayar Rp30.000 berikut bayar nasi ayam geprek dan es teh leci. Uangnya dikumpulkan ke seorang teman.Â
Dengan pengalaman ini, kami pun jadi kapok ke sini lagi. Tidak akan pernah lagi deh ke sini-sini lagi. Cukup sampai di sini saja. Cukup sudah...Â
Setidaknya begitu keputusan kami di group WA. Saya yang tadinya mau mereview tempat dan makanannya jadi ogah saking masih bete-nya.Â
"Siapa sih yang milih tempat ini?" ledek kami bercanda. Kami pun tertawa lepas, meski ini menjadi pengalaman yang paling menyebalkan. Ah ini sih karena tidak sesuai dengan budget kami saja hahaha...
Dan, ini seharusnya menjadi pembelajaran juga buat pengelola kafe. Bagaimana caranya agar konsumen bisa balik lagi ke sini. Apalagi yang dipromosikan tidak seperti yang diposting di media sosial.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H