"Alhamulillah, kami bersyukur prosesnya sangat lancar, mudah dan mendapat dukungan dari berbagai kalangan," tambah Giwo.
Dalam pandangan Giwo, dr Rubini memang patut mendapatkan gelar pahlawan nasional. Jasa dan perjuangannya selama masa penjajahan Jepang bagi masyarakat Mempawah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.Â
Giwo menuturkan, selama hidupnya, dr Rubini yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Daerah, begitu banyak memberikan perhatian kepada korban kekerasan dari kalangan perempuan dan anak.Â
Karena melihat kondisi inilah, dr Rubini akhirnya membentuk gerakan bawah tanah dengan melihat para pasiennya yang sebagian besar perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh penjajah.
Kegigihannya melawan penjajah telah mengorbankan jiwa dan raga, sehingga dr. Rubini beserta istrinya yang sedang hamil, dan rakyat Kalimantan Barat lainnya, wafat di tangan penjajah. Peristiwa itu dikenal sebagai Tragedi Mandor.
Tragedi Mandor adalah peristiwa paling kelam di Kalimantan Barat. Â Puluhan ribu orang selama kurun waktu tahun 1942 -- 1944 dibunuh secara keji oleh tentara pendudukan Jepang.
Para korban terdiri dari tokoh masyarakat, cerdik pandai, raja, sultan, panembahan dan hartawan. Dalam peristiwa pembunuhan masal di Mandor itu dr. Rubini dan istri, Amalia Rubini, turut menjadi korban.Â
Beritanya dimuat dalam koran Borneo Shimbun Pontianak edisi tahun kedua nomor 135 tanggal 1 Juli 1944.
Pembunuhan besar-besaran tersebut terjadi pada 28 Juni 1944 di Mandor. Sebagai bentuk penghormatan kepada para korban maka setiap 28 Juni diperingati sebagai "Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat".
Namun, masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di luar Kalimantan Barat belum mengetahuinya.