Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bisakah Ferdy Sambo Bebas?

31 Agustus 2022   08:08 Diperbarui: 31 Agustus 2022   13:36 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rektor Unkris Dr. Ayub Muktiono (kanan) saat diwawancarai media (dokumen pribadi)

Bisakah Ferdy Sambo Bebas? Jawaban dari pertanyaan ini: bisa saja. Sambo sebenarnya memiliki peluang untuk bebas dari hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

Dengan catatan, jika pelaku pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, ini mengambil peluang menjadi justice collaborator.

Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.

Sebagai pelaku, justice collaborator bekerja sama memberikan bantuan kepada penegak hukum. Baik itu dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti yang kuat, atau kesaksian di bawah sumpah yang dapat mengungkapkan kasus tindak pidana yang melibatkannya.

Cuma pertanyaannya apakah Irjen Pol. Ferdy Sambo (FS) mau? Kalau pun suami dari Putri Candrawati mau, apakah aparat hukum dan pihak-pihak lain siap menerima konsekuensinya? Tidak bisa dipungkiri kasus ini akan merembet kepada kasus-kasus yang lain.

Begitu persoalan yang mengemuka dalam seminar Kajian Hukum -- Legal Justice bertema Bisakah Ferdy Sambo Bebas?, Selasa 30 Agustus 2022, di Pendopo Unkris, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat. Seminar ini diadakan oleh Program Doktoral Ilmu Hukum Angkatan 11 Universitas Krisnadwipayana (Unkris),

Tampil sebagai nara sumber adalah pakar hukum pidana Prof Dr T Gayus Lumbuun, SH, MH, yang juga Guru Besar Hukum Unkris dan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Prof (HC) Dr Otto Hasibuan, SH, MCL, MM.

Prof Gayus menyampaikan, kasus Ferdy Sambo cukup menarik untuk  dikaji para akademisi ilmu hukum. Dalam pandangannya sebagai ahli hukum, kasus ini tidak semata-mata menyangkut tindak kejahatan yang dilakukan Ferdy Sambo yang diduga menjadi otak pelaku penembakan tersebut.

Menurutnya, kasus Ferdy Sambo bisa menjadi momentum bagi institusi Polri memperbaiki citranya. Terlebih kasus ini  menjadi isu besar di masyarakat yang berimplikasi pada berbagai pihak baik masyarakat maupun institusi Kepolisian RI.

Terbukti eskalasi suara publik yang menuntut hak dan keadilan berhasil mengungkap kasus tersebut. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dan penyeledikan, pihak kepolisian akhirnya menetapkan puluhan anggota kepolisian sebagai pelanggar etik. Beberapa di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Meski pelaku utama pembunuhan Brigadir J sudah mengakui, Prof Gayus menilai Sambo bisa bebas. Artinya bisa bebas murni, bebas bersyarat, atau dibebaskan. Caranya, Sambo mau mengambil posisi sebagai justice collaborator.

Dengan posisi tersebut, konsekuensinya Sambo harus berani membongkar borok yang ada di institusi tempatnya bekerja. Sejelas-jelasnya, sedetil-detilnya, sejujur-jujurnya. Pokoknya, setransparan mungkin.

Prof Gayus saat memberikan keterangan pers usai seminar (dokumen pribadi)
Prof Gayus saat memberikan keterangan pers usai seminar (dokumen pribadi)

Terlebih sejak kasus Sambo menyita perhatian publik, isu seputar ketidakberesan institusi Polri seperti munculnya Geng 303 terus bergulir. Adanya isu itu berhasil meyakinkan publik bahwa memang ada yang tidak beres pada institusi Polri.

Sambo sendiri sebenarnya sudah mengakui dirinya sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J. Dengan pengakuannya ini, yang  bersangkutan sejatinya tidak bisa lagi memenuhi persyaratan menjadi justice collaborator.

"Sambo bahkan bisa dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55-56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup atau penjara 20 tahun," kata Prof Gayus.

Pasal 340 itu tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 340 KUHP yang tertuang dalam BAB XIX tentang Kejahatan terhadap Nyawa atau Pembunuhan Berencana.

Bunyinya "Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain akan diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."

Subsider sendiri didefinisikan sebagai pengganti jika hal pokok tidak terjadi. Contohnya, seharusnya mendapat hukuman denda karena terhukum atau atau tersangka tidak dapat membayarnya maka diganti dengan hukuman kurungan.

Jika Sambo menjadi justice collaborator, maka kebermanfaatan hukum akan sedemikian besar yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Meski keputusan ini diakui tidak akan mengurangi rasa sakit hati dan kepedihan keluarga almarhum Brigadir J.

Bagi Prof Gayus, terbuka ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan unsur kemanfaatan atas pengakuan yang selengkap-lengakpnya, sejujur-jujurnya, seterbuka-terbukanya dari pelaku.

"Yaitu dengan menggabungkan pemahaman social justice sebagai demokrasi, legal justice sebagai nomokrasi serta keadilan prosedural dan keadilan substantif," kata Prof Gayus yang juga Guru Besar Pidana Unkris.

Tentang justice collaborator sendiri telah diakui oleh hukum nasional kita, bahkan sudah mengaturnya sebagai norma hukum. Aturan yang dimaksud yaitu melalui Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, KPK dan LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, Saksi Pelaku yang berkerjasama.

Diakui Prof Gayus, perkembangan proses hukum di tingkat penyelidikan dapat dikatakan menjadi keberhasilan kelompok masyarakat dari berbagai unsur termasuk advokat yang mendapatkan kuasa untuk menangani kasus.

Kelompok masyarakat umum dalam konteks pemikiran Prof Gayus, dapat disebut sebagai social justice warrior atau pejuang keadilan sosial bersama para advokat yang bertindak sebagai kuasa hukum korban yang telah dengan tegas dan berani mengungkapkan berbagai informasi termasuk fakta-fakta yuridis yang ditemukan.

Prof Otto saat memberikan penjelasan kepada media usai seminar (dokumen pribadi)
Prof Otto saat memberikan penjelasan kepada media usai seminar (dokumen pribadi)

Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan menyatakan, Sambo bisa bebas kalau tidak terbukti dan tidak bisa bebas kalau terbukti.  Namun, ia melihat banyak publik yang terjebak dalam kasus Sambo ini.

Otto melihat masyarakat atau kalangan akademisi telah sampai situasi yang terjebak. Terjebak oleh pemberitaan yang sedemikian rupa di media mengenai kasus ini.

Membuatnya seolah-olah kasus tersebut telah sampai pada akhir kesimpulan perkara. Padahal, perkara itu sendiri masih terus berproses. Menurutnya, bisa saja fakta-fakta yang disampaikan saat ini berubah keesokan harinya.

"Begitu hebatnya pemberitaan, sehingga kasus yang sebenarnya baru dimulai, seolah-olah telah sampai pada akhir cerita," tukasnya.

Sejak awal pemberitaan muncul "skenario pertama" yaitu terjadi tembak-menembak antara polisi. Hal itu juga diyakini masyarakat sebagai suatu fakta yang terjadi. Namun ternyata kemudian muncul "skenario kedua" usai muncul fakta Bharada Richard Eilezer (RE) Bharada E bahwa dirinya diperintah oleh Sambo.

Penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J dilakukan setelah Kapolri dan tim khusus melakukan gelar perkara pada Selasa 9 Agustus 2022. Dalam gelar perkara tersebut, telah ditemukan fakta bahwa tidak terjadi insiden tembak-menembak antara Brigadir J dengan Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.

"Coba bayangkan, sebentar, sudah berubah menjadi skenario kedua. Dan kita percaya skenario kedua, skenario pertama yang tadinya kita percaya, kita lupakan," kata dia.

Lantas muncul pertanyaan kemungkinan bisa saja nanti muncul "skenario ketiga" baik pada waktu pemeriksaan atau di persidangan. Untuk itu, ia menyampaikan akan pentingnya tidak melakukan judgement sekarang ini sebelum adanya putusan pengadilan menyelesaikannya.

"Namun meski sekarang skenario dua sudah makin menguat, bisa saja muncul skenario ketiga dan seterusnya. Semuanya serba mungkin," kata Otto.

Karena itu, sebagai kaum akademisi, Otto mengajak para dosen dan mahasiswa untuk mengkritisi persoalan ini dengan baik. "Kita harus tunggu akhir dari persidangan untuk menyimpulkan kasus ini," tambahnya.

Rektor Unkris Dr. Ayub Muktiono (kanan) saat diwawancarai media (dokumen pribadi)
Rektor Unkris Dr. Ayub Muktiono (kanan) saat diwawancarai media (dokumen pribadi)

Otto mengaku prihatin dan turut berduka atas kematian Brigadir J. Namun, ia mengingatkan penting untuk tetap menjaga hukum jangan sampai dirusak.

Dia menegaskan masyarakat  harus melihat perkara ini secara objektif. Kalau memang ada hal lain yang harus dibongkar, itu soal lain. Terpenting dalam kasus ini bagaimana kita bisa ketahui yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini.

"Kalau dia melakukan pembunuhan itu seperti itu, maka biarlah dihukum sesuai hukuman yang seharusnya. Itu intinya," tandasnya.

Otto juga sepakat dengan Prof Gayus, bahwa substansi hukum mengenal adanya kebermanfaatan di samping keadilan dan kepastian hukum. Tentunya agar hukum tidak sekadar mengadili yang salah dan menjatuhkan hukuman sesuai aturan yang berlaku, tetapi hukum juga harus mampu memberi manfaat untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

"Harus ada kebermanfaatan dari penuntasan kasus hukum terhadap Sambo ini. Kita ingin agar di kemudian hari tidak muncul Sambo-Sambo yang lain," tandasnya.

Sementara itu, Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono mengatakan seminar nasional ini menjadi bagian dari upaya Unkris untuk memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat luas sebagai bagian dari tugas para akademisi.

Kampus, katanya, punya kebebasan akademis untuk memberikan kajian termasuk dalam kasus Sambo ini. Karena itu, Unkris merasa terpanggil memberikan pandangan dari sisi akademis.

Ayub memastikan seminar nasional terkait Sambo ini tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung terhadap Sambo maupun pelaku lainnya.

"Semata-mata ingin melihat lebih luas aspek hukum dari kasus tersebut dengan maksud mencegah kasus serupa terjadi berulang," katanya.

Seminar nasional ini terbuka untuk umum. Menjadi bagian dari upaya Unkris memberikan sumbangan pemikiran dan pandangan terkait kasus Ferdy Sambo dari sisi akademis.

Melibatkan ribuan peserta dari berbagai kalangan, seminar nasional dimoderatori langsung oleh Wakil Rektor 3 Unkris Dr Parbuntian Sinaga dan Ketua LPKK Unkris Dr Susetya Herawati.

Seminar nasional dihadiri tidak hanya dosen dan mahasiswa Unkris tetapi juga akademisi dari berbagai kampus lain di Jabodetabek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun