Kemarin siang, suami pergi ke SPBU yang tidak begitu jauh dari kompleks perumahan tempat saya tinggal. Katanya, mau isi full tank buat mobil Land Rover dan Bighorn yang berbahan bakar diesel.Â
Suami melakukan ini sebagai bentuk antisipasi kenaikan BBM Pertalite dan Solar subsidi. Jika diisi sekarang, setidaknya suami bisa menghemat uang dalam sepekan ke depan. Meski nantinya, tentu saja mengisi BBM dengan harga baru yang rencananya mulai diberlakukan pekan depan. Ya, lumayanlah bisa menghemat uang.
Jelas suami kecewa. Bahan bakar solar, menurutnya, yang paling murah di antara BBM jenis lain. Jika solar harganya dinaikkan akan berimbas pada pengeluarannya yang juga pasti akan membengkak.Â
Bisa-bisa kondisi keuangan babak belur. Satu-satunya cara untuk "menyelamatkan" kondisi keuangan keluarga ya dengan  mengorbankan belanja lain.Â
Baru juga masyarakat menghirup "udara bebas" setelah dua tahun dihantam pandemi Covid-19. Â Baru saja kondisi ekonomi masih dalam masa pemulihan akibat pandemi Covid-19.
Eh, masyarakat harus menelan pil pahit dan harus menarik napas dalam-dalam. Apakah tidak akan membuat ekonomi masyarakat yang mulai membaik ini kembali terpuruk?Â
Kata suami, kalau tujuannya memang ingin membatasi penggunaan BBM bersubsidi karena dinilai tidak tepat sasaran, pemerintah juga harus tegas siapa yang layak menggunakan BBM subsidi ini. Harus disebutkan dengan jelas kriterianya.
Suami yang punya gaji tetap dan bisa dibilang termasuk kalangan masyarakat ekonomi menengah saja mengeluh bagaimana dengan mereka yang pendapatannya tidak menentu? Sudah ada gambaran, bukan?
Presiden Jokowi memang sudah beberapa kali menyampaikan pemerintah sudah cukup besar memberikan subsidi BBM. Keuangan negara tidak mungkin terus-menerus memberikan subsidi di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia.
Untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30), dijual dengan harga Rp 5.150 per liter. Padahal, harga keekonomiannya mencapai Rp 18.150. Jadi untuk setiap liter Solar, pemerintah membayar subsidi Rp 13 ribu.