Selasa 16 Agustus 2022, Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato Pengantar/Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-undang RAPBN 2023 beserta Nota Keuangannya pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR RI Tahun Sidang 2022-2023, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta.Â
Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyampaikan Indonesia berhasil mengatasi pandemi dan memulihkan ekonominya dengan cepat. Meski demikian, Presiden mengingatkan kita harus terus menjaga kehati-hatian dan kewaspadaan kita.Â
"Risiko gejolak ekonomi global masih tinggi. Perlambatan ekonomi dunia tetap berpotensi memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestik dalam jangka pendek," kata Presiden.
Presiden berpandangan konflik geopolitik dan perang di Ukraina telah menyebabkan eskalasi gangguan sisi suplai. Kondisi ini yang dapat memicu lonjakan harga-harga komoditas global. Dampak berikutnya, mendorong kenaikan laju inflasi di banyak negara. Tidak terkecuali negara kita, Indonesia.
Atas kondisi global ini, Presiden menyampaikan, Bank Sentral di banyak negara melakukan pengetatan kebijakan moneter secara agresif. Pengetatan ini telah menyebabkan guncangan pada pasar keuangan di banyak negara berkembang.Â
"Konsekuensinya, nilai tukar mata uang sebagian besar negara berkembang mengalami pelemahan," ujarnya.
Dengan berbagai tekanan tersebut, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global melambat signifikan. Pada 2021 bisa bertumbuh 6,1 persen, namun pada 2022 menurun menjadi 3,2 persen dan menjadi 2,9 persen di tahun 2023.
Meski demikian, Presiden mengajak kita untuk tidak pesimis menghadapi ketidakpastian global ini. Terlebih, dalam 8 tahun terakhir, Indonesia telah berhasil memupuk modal penting untuk menciptakan ekosistem pembangunan yang lebih kondusif.
Presiden juga menyampaikan pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan sebesar 5,3 persen. Target ini jauh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6% per tahun yang harus dicapai untuk menjadi negara maju pada 2045.
"Kita akan berupaya maksimal dalam menjaga keberlanjutan penguatan ekonomi nasional. Kita perkirakan pada tahun 2023 sektor swasta akan semakin kuat sehingga dapat menjadi motor pertumbuhan," katanya.
Menanggapi pidato ini, Wakil Ketua
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati, memahami perekonomian Indonesia memiliki tantangan yang tidak ringan dalam menghadapi kondisi ketidakpastian global yang masih tinggi pada 2023.
Menurutnya, "Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan" yang menjadi tema kebijakan fiskal Pemerintah pada 2023 Â memiliki tantangan yang tidak ringan. Terlebih Indonesia masih menghadapi tingginya ketidakpastian ekonomi global.Â
"Kita juga masih memiliki masalah struktural yang seringkali menghambat jalannya pembangunan," sebut Anis yang juga Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu usai Sidang Paripurna di DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 16 Agustus 2022.
Hambatan yang dimaksud di antaranya kualitas sumberdaya manusia yang rendah; infrastruktur yang belum memadai; kurangnya produktivitas dan daya saing; birokrasi, institusi dan regulasi yang tidak efisien; serta belum bebas dari praktek moral hazard khususnya korupsi
Anggota Komisi VI DPR RI ini menyampaikan Indonesia masih memiliki sejumlah persoalan mendasar yang mesti diselesaikan terlebih dahulu. Selain itu, Pemerintah perlu membuat skala prioritas terhadap proyek pembangunan yang berskala besar.
Terkait target pertumbuhan ekonomi 2023 yang diperkirakan sebesar 5,3%, menurut Anis, akan sangat sulit untuk dicapai. Dia beralasan karena pertumbuhan ekonomi hingga Triwulan II-2022 lebih banyak ditopang oleh terjadinya windfall atau "durian runtuh" akibat tingginya harga komoditas pangan dan energi di pasar Internasional. Diperkirakan windfall tersebut akan segera berakhir pada 2023.
Karena itu, Anis meminta pemerintah harus bisa mempertahankan kinerja ekspor serta meningkatkan laju investasi dan tingkat konsumsi masyarakat untuk bisa mencapai target angka pertumbuhan tersebut.
Anis juga mengingatkan pemerintah dan BI untuk perlu ekstra kerja keras dan waspada dalam menjaga laju inflasi yang akan terus meningkat, seiring dengan tingginya harga komoditas pangan dan energi di pasar Internasional.Â
"Target inflasi tahun 2023 sebesar 3,30 persen perlu dijaga secara ketat. Persoalannya, hingga Juli 2022 tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9% (YoY, Year On Year)," katanya.
Pada Juli saja indeks harga komoditas kelompok pangan telah melonjak lebih dari 10,47 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (YoY). Kenaikkan harga pangan dinilai telah melebihi batas wajar. Mestinya inflasi pangan tidak boleh lebih dari 5 persen atau 6 persen.
Menurutnya, inflasi tinggi akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Beban APBN dalam menjaga stabilitas harga energi dan pangan, akan berdampak terhadap anggaran subsidi dan kompensasi energi yang semakin meningkat.
Indonesia, katanya, perlu kerja keras untuk mencapai pendapatan negara pada 2023 sebesar Rp2.443,6 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun.
Anis memberi catatan atas defisit anggaran tahun 2023 direncanakan sebesar 2,85% terhadap PDB atau Rp598,2 triliun. Defisit anggaran tahun 2023 merupakan tahun pertama kembali ke defisit maksimal 3% terhadap PDB.
"Kembalinya angka defisit ke angka maksimal 3%, tentunya akan mempersempit ruang fiskal Pemerintah pada 2023," tukas legislator Dapil DKI Jakarta I itu.
Untuk menjaga pencapaian target 3 persen tersebut, Anis menyarankan pemerintah untuk ketat menjaga kualitas belanja (spending better). Terutama belanja-belanja yang selama ini tidak termasuk prioritas. Termasuk membuat skala prioritas belanja untuk proyek-proyek strategis nasional untuk ditunda pelaksanaanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI