Dalam beleid tersebut, jenis vaksin yang digunakan dalam penanganan wabah PMK adalah jenis inactive yang memiliki kesesuaian dengan serotipe virus PMK yang ada di Indonesia. Jenis vaksin ini telah mendapat rekomendasi dari Pejabat Otoritas Veteriner Nasional.Â
Adapun vaksin yang digunakan di antaranya Aftopor dari Prancis, CAVac FMD dari China, Aftomune dari Brazil, Aftogen Oleo dari Argentina, dan Aftosa dari Argentina.Â
Dengan adanya Kepmentan No 517 Tahun 2022, Ombudsman menemukan kejanggalan yang berpotensi mengakibatkan kerugian negara dan masyarakat.Â
Dinilai janggal karena pembelian vaksin dilakukan pada pertengahan Mei, sebelum penetapan vaksinnya yang baru ditetapkan pada 7 Juli 2022. Dan ini, jelas-jelas melanggar prosedur penanggulangan dan pengendalian PMK.
Menurut Ombudsman RI penanganan wabah PMK perlu mengedepankan pendekatan penyelesaian terintegrasi secara hulu-hilir. Yakni mulai tahap pengamatan dan identifikasi, pencegahan, penanganan, pemberantasan, dan pengobatan sesuai dengan tata aturan yang berlaku.
Penanganan dan pengendalian PMK, bukan saja ada regulasinya yang mengatur, namun juga kita punya lesson learn bagaimana mengatasi masalah ini di masa lalu.Â
Wabah PMK pertama kali masuk ke Indonesia pada 1887 melalui importasi sapi perah dari Belanda. Dengan berbagai penanganan dan pemberantasan melalui vaksinasi massal, pada 1983 Indonesia mendeklarasikan bebas PMK.Â
Pengakuan status bebas PMK di Indonesia oleh OIE (World Organization for Animal Health) diraih pada 1990. Karena itu, semestinya kita tidak perlu gagap, dan memiliki kompetensi dalam mengatasinya.
Ombudsman RI juga menyorot mudahnya lalu lintas hewan yang ke luar masuk dari satu daerah ke daerah lainnya di saat kondisi PMK di beberapa daerah. Hal ini membuktikan adanya potensi penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan sertifikat kesehatan hewan.Â
Kementerian Pertanian (Badan Karantina) telah lalai dalam melakukan pencegahan ke luar masuknya hewan dari daerah zona tertular PMK ke daerah lain yang belum tertular PMK. Hal ini yang menyebabkan semakin bertambahnya penyebaran penyakit PMK. Awalnya terkonfimrasi 2 provinsi pada 9 Mei 2022, menjadi 22 provinsi pada 13 Juli 2022.
Banyaknya hewan terjangkit PMK, yang berimplikasi pada tingginya jumlah hewan yang mati. Â Banyaknya sapi terjangkit menyebabkan turunnya produktifitas, tingginya nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan secara keseluruhan, dan luasnya sebaran wilayah terdampak PMK, sudah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai bencana nasional sebagaimana ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Â