Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kongres I Jaringan Bank Pangan Indonesia, Upaya Entaskan Kelaparan di Tanah Air

27 Mei 2022   08:27 Diperbarui: 27 Mei 2022   08:52 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foodbank of Indonesia (FOI) -- yayasan nonprofit yang bergerak di bidang sosial, menyelenggarakan Kongres I Jaringan Bank Pangan Indonesia: Kebangkitan Bangsa, Pangan, dan Perempuan, Rabu 25 Mei 2022, di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat. 

Kongres Jaringan Bank Pangan Indonesia yang dipandu oleh Shanaz Haq, artis yang juga pegiat sosial dan Duta FOI, ini diadakan secara hybrid. Diikuti oleh Bank Pangan di 43 Kota/Kabupaten dan 230 kecamatan.

Dipilihnya Museum Kebangkitan Nasional karena momentumnya yang tepat. Masih dalam "suasana" Hari Kebangkitan Nasional. Kebetulan juga, FOI lahir pada 20 Mei 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Hari Kebangkitan Nasional menjadi tonggak perjuangan FOI melalui organisasi sebagaimana perjuangan organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Semangat inilah yang terus menjadi kekuatan FOI dalam mengentaskan kelaparan di Indonesia.

Isu sentral dalam Kongres ini adalah peran bank makanan untuk mencegah timbulnya sampah makanan dan mendistribusikan makanan berlebih untuk masyarakat yang tidak punya akses pangan bergizi.

Masalah pangan juga menimbulkan kelaparan tersembunyi (hidden hunger), yaitu kekurangan zat gizi mikro. Untuk menghindarinya, anak-anak mesti dikenalkan berbagai macam makanan berikut gizinya. 

Tentu saja hal tersebut membutuhkan peran orang tua. Ia juga mendorong agar anak diajari makan dengan kesadaran (mindful).

Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah tengkes (stunting) atau kondisi gagal tumbuh kembang anak akibat kurang gizi kronis. 

Prevalensi tengkes di Indonesia turun menjadi 24,4 persen pada 2021. Prevalensi tengkes pada 2019 adalah 27,7 persen, sementara pada 2018 sebesar 30,8 persen. Pemerintah menargetkan prevalensi tengkes turun menjadi 14 persen pada 2024.

Kongres dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Direktur Pangan & Pertanian Bappenas, Anang Noegroho, Guru Besar Pangan dan Gizi IPB, Prof. Dr. Ahmad Sulaeman, dosen Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Risatianti
Kolopaking, M.Si, dan perwakilan dunia usaha.

Pendiri Foodbank of Indonesia, M. Hendro Utomo, menyampaikan, kongres ini diadakan karena belum seluruh penduduk Indonesia bebas dari rasa lapar. Sebagian orang pun belum memiliki akses terhadap makanan bergizi.

Di kongres ini menjadi momentum untuk memperkuat jaringan organisasi bank pangan di Indonesia sekaligus mendorong kemakmuran, memerangi kelaparan menuju Kebangkitan Indonesia yang Merdeka 100%.

Menurutnya, Indonesia belum bisa dikatakan merdeka jika masih ada penduduknya yang kelaparan. Sayangnya, selama Indonesia merdeka, masih banyak ditemukan orang-orang yang kelaparan.

"Indonesia belum betul-betul merdeka jika di antara kita masih ada yang kelaparan dan kurang gizi. Di Jakarta saja yang dekat dekat pusat Ibukota Negara juga masih ditemukan penduduk yang kelaparan," tandasnya.

Para peserta kongres (dokumentasi FOI)
Para peserta kongres (dokumentasi FOI)

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sebelumnya memperkirakan ada 130 juta ton sampah makanan per tahun. Angka itu seharusnya bisa menyelamatkan 11 persen penduduk Indonesia atau 28 juta orang dari kelaparan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021 juga melakukan penelitian serupa. Hasil penelitian cukup mengejutkan.

Ternyata potensi sampah yang dihasilkan dari sampah makanan (food waste) dan makanan yang terbuang sebelum diolah (food loss) di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun pada 2020-2019. Angka itu setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun.

Adapun berdasarkan analisis Harian Kompas, setiap orang di Indonesia rata-rata membuang makanan senilai Rp 2,1 juta per tahun. Jika dijumlahkan, sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.

Di sisi lain, ribuan, bahkan jutaan orang, masih berjuang mendapatkan makanan setiap hari. Kelaparan bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain kemiskinan hingga minimnya akses untuk memproduksi pangan dari lahan sendiri.

"Kemubaziran adalah hal yang sangat jahat. Di satu sisi ada masyarakat yang berlebihan pangan, namun di sisi lain banyak masyarakat yang lapar, gizinya juga kurang," tandasnya.

FOI mendorong secara organisasi agar keadilan pangan dapat tercapai. Namun, tentu saja negara harus hadir untuk memberikan dukungan dan perlindungan pada upaya-upaya lembaga nirlaba dalam mengentaskan kelaparan.

"Kami terus fokus pada gerakan keadilan pangan dan menekan kemubaziran pangan, dengan menjadi jembatan antara masyarakat yang berlebihan makanan dengan masyarakat yang membutuhkan," katanya.

Untuk membuka akses pangan bagi masyarakat yang rentan kelaparan, FOI juga memberikan edukasi kepada masyarakat agar meningkatkan kesadaran terkait pengelolaan pangan secara bijak.

Ketua Yayasan Lumbung Pangan Indo (YLPI) Wida Septarina, mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah kelaparan dan kurang gizi.

Dikatakan, FOI -- yang berada di bawah naungan YLPI, membantu masyarakat mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk selama tujuh tahun terakhir. Mereka mendistribusikan makanan berlebih ke kelompok rentan, utamanya anak-anak.

Aktifitas FOI bermula dari kegiatan membagikan sarapan gratis di garasi sebuah kantor. Kini, FOI berkembang menjadi jaringan di 43 kota/kabupaten di Indonesia. Penerima manfaatnya lebih dari 260.000 orang.

"Namun, gerakan ini tidak mungkin berkelanjutan tanpa dukungan pemerintah, dunia usaha, akademisi, donatur, hingga sukarelawan," ucap Wida.

Yayasan Lumbung Pangan Indonesia atau FOI berharap negara, khususnya pemerintah, memberi perhatian terkait keadilan pangan di Indonesia untuk mengurangi fenomena kemubaziran pangan.

Ketua YLPI Wida Septarina, pendiri FOI, M Hendro Utomo, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (Dokumen pribadi)
Ketua YLPI Wida Septarina, pendiri FOI, M Hendro Utomo, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (Dokumen pribadi)

RUU Bank Pangan

Wakil Ketua MPR Muhammad Hidayat Nur Wahid, usai memberikan arahan, memberikan apresiasinya kepada FOI yang sudah berkontribusi memerangi kelaparan di Indonesia. 

Melihat kontribusi ini dan juga bank makanan lainnya, Hidayat mengatakan, pihaknya sedang mengajukan RUU tentang bank makanan untuk keadilan sosial ke DPR. 

RUU tersebut kini masuk ke program legislasi nasional (prolegnas). Mengingat begitu banyak RUU yang tengah digodog DPR, pihaknya akan berupaya agar RUU tersebut masuk daftar prioritas. 

Menurutnya, Rancangan UU tersebut dibutuhkan karena tidak ada payung hukum yang mengatur pemerataan pangan untuk penduduk Indonesia. Pemerataan pangan menjadi salah satu cara mencapai keadilan sosial. 

Regulasi ini diperlukan untuk melindungi pergerakan organisasi bank pangan yang bertujuan untuk mengurangi angka kelaparan dan menekan kemubaziran. 

"Gerakan bank pangan ini penting untuk mendorong keadilan pangan di masyarakat. Karena itu, negara harus mendukung dengan menyiapkan perangkat hukum untuk melindungi operasi organisasi bank pangan," katanya.

Adanya RUU ini juga dapat memberi perlindungan hukum ke pihak yang mendistribusikan makanan berlebih ke publik. Termasuk donatur sehingga merasa yakin donasi yang disalurkannya tepat dan kompeten.

"Dengan RUU, donatur dan kontributor juga tidak ragu untuk berdonasi secara permanen dan berkelanjutan karena ini kegiatan legal," kata Hidayat  kata Hidayat yang juga anggota Komisi VIII DPR RI.

Hidayat menyampaikan, isu tentang limbah makanan yang terjadi dari food waste dan food loss berdampak negatifnya bagi lingkungan. Karena itu, semua pihak bersama-sama untuk tidak melakukan kemubaziran pangan.

Menurutnya, negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk soal pangan.

Meski demikian, Hidayat berpendapat gerakan keadilan pangan perlu dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Selain organisasi, juga ada peran masyarakat dan perempuan. Terutama menyangkut peran edukasi mengolah makanan bergizi.

"Upaya mencapai keadilan pangan perlu terus dilakukan oleh individu, organisasi, maupun oleh pemerintahan. Karena itu, kerja sama antara pemerintah, swasta, komunitas, dan masyarakat diperlukan untuk memperluas akses terhadap pangan," ujarnya.

Peran perempuan entaskan kelaparan

Dosen Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Risatianti Kolopaking, M.Si, menyampaikan,  kepemimpinan perempuan dan kaum ibu terutama di bidang pangan sangatlah penting. 

Menurutnya, perempuanlah yang mengambil keputusan atas pangan. Mulai dari mengumpulkan, mengolah, hingga mendampingi makan anak dan keluarga. Keterlibatan perempuan akan menciptakan generasi masa depan untuk kebangkitan bangsa Indonesia. 

"Gerakan 1000 Ibu, yang diinisiasi FOI sejak tahun 2020, yakni kegiatan dari ibu, untuk ibu, dan bersama ibu, gerakan kebangkitan perempuan melalui pangan yang perlu didorong dan diapresiasi," ujar Dr. Risa.

Peran perempuan juga terlihat pada organisasi-organisasi bank pangan di daerah. Lumbung-lumbung pangan modern ini dipelopori oleh kaum perempuan untuk mengantisipasi krisis pangan dan membangkitkan bangsa di masa depan. 

Saat ini, FOI Network mendorong pergerakan 8.412 sukarelawan yang bekerja di akar rumput di 43 kota/kabupaten dan 230 kecamatan di Indonesia, yang 85% nya adalah perempuan.

Relawan FOI Tuti memaparkan, kendati Jakarta adalah kota besar, di pelosok kota masih banyak anak memerlukan makanan tambahan bergizi. Beberapa di antara mereka sulit membeli makanan bergizi karena terhalang kemiskinan. 

"Padahal, kekurangan gizi berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Tanpa asupan gizi yang optimal, mereka akan sulit belajar secara optimal juga," katanya.

Pengamat sosial lingkungan dan ekonomi sirkuler Dr. Hanafi Guciano, menyampaikan, kondisi pangan global saat ini perlu mendapatkan perhatian serius. Inflasi dan pembatasan aliran pangan serta perubahan iklim, membuat jutaan manusia di seluruh muka bumi dalam posisi rentan pangan. 

Inflasi, kenaikan harga pangan, dan pembatasan aliran pangan pokok seperti gandum, yang sudah mulai diterapkan beberapa negara seperti India dan Slovakia menyebabkan krisis pangan di beberapa wilayah dunia dalam waktu dekat. 

"Kita akan menghadapi krisis pangan,
karena dampak dari perubahan iklim dan persoalan global yang akan menutup aliran pangan" tandasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun