Ceritanya, dalam rangka "Memperingati Hari Kebangkitan Nasional", Rabu, 25 Mei 2022, saya ke Museum Kebangkitan Nasional yang berada di jalan Dr. Abdul Rahman Saleh, Jakarta Pusat.Â
Sudah lama juga saya tidak ke sini. Pokoknya, terakhir itu sebelum pandemi Covid-19. Karena mengejar waktu, dari Stasiun Gondangdia saya naik ojek online. Tarifnya Rp15.000.
Kalau jalan kaki juga sebenarnya bisa sih. Tidak begitu jauh dari Hotel Aryaduta, Tugu Tani. Lurus terus belok kiri deh. Itu sudah jalan Dr. Abdul Rahman Saleh. Lihat di google maps jaraknya sekitar 1 km lebih dikit. Itu dekat atau jauh ya?Â
Setibanya di sini, ternyata suasana dan penampakkannya agak sedikit berubah. Setidaknya jika dibandingkan dengan terakhir saya ke sini.Â
Ternyata, di Museum Kebangkitan Nasional ini ada Pameran Retrospeksi yang berlangsung dari 20 Mei-18 Juni 2022. Pameran ini dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Tapi tujuan saya ke sini bukan untuk mengulik pameran ini. Saya ingin mengkilas balik berdirinya sekolah kedokteran pada zaman Hindia Belanda dengan cikal bakal berdirinya organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kalau diingat-ingat atau dipikir-pikir, secara historis, dokter Indonesia dan IDI memiliki sejarah panjang di negeri ini. Kalau kita tarik ke belakang, kita akan "bertemu" dengan mahasiswa STOVIA ketika itu. Di antaranya ada Goenawan Mangoenkoesoemo, Soetomo, dan Goembrek.Â
Saya lantas mengitari area STOVIA. Ya, Museum Kebangkitan Nasional ini adalah komplek bangunan peninggalan kolonial Belanda. Dulunya adalah tempat pendidikan kedokteran "STOVIA" (School Tot Oplending Van Inlandsche Artsen).Â
Di area STOVIA ini ada 4 ruang -- STOVIA I, STOVIA II, STOVIA III, STOVIA IV, yang menggambarkan sejarah perkembangan ilmu kedokteran Indonesia.
Ruang I dinamakan "Perubahan" yang berisi alat-alat pengobatan tradisional, seperti gilingan jamu, boteka atau tempat menyimpan racikan obat dan lain-lain.
Lanjut ke Ruang II yang diberi nama "Lahirnya Pendidikan Dokter Modern". Ruangan ini menyimpan beberapa macam peralatan kedokteran. Seperti alat pemecah kepala, elektroradiograf atau alat pencatat detak jantung, kuster atau alat untuk mensterilkan peralatan kedokteran.
Ruang III "Meningkat dan Berkembang" berisi koleksi alat rontgen, peralatan kedokteran, perlengkapan dokter bedah serta biola yang digunakan R, Maryono untuk memainkan lagu-lagu di halaman gedung STOVIA pada waktu istirahat.Â
Terakhir, ruang IV "Menuju Dokter Indonesia yang bukan hanya sekedar Inlandsche Arts". Ruangan ini memiliki koleksi peralatan kedokteran, seperti tempat jarum suntik, tabung wintrobe, objek glass.
Dulunya profesi dokter di Indonesia bermula sejak zaman Kolonial Belanda. Kolonial Belanda saat itu menghadirkan pendidikan dokter untuk bisa menghasilkan seorang dokter yang bisa menangani suatu penyakit.Â
Saat itu, jumlah tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda terbatas sehingga wabah penyakit yang ada waktu itu tidak dapat ditangani dengan maksimal.Â
Pengobatan secara tradisional juga tidak membaik. Wabah malaria ketika itu begitu hebatnya melanda penduduk di Nusantara.Â
Sekolah pendidikan dokter itu dikenal dengan nama STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Hasilnya, siswa yang telah lulus mendapat gelar "Dokter Djawa".
Sekolah ini pun terbuka untuk orang bumiputera. Dalam pekerjaannya, seorang Dokter Djawa umumnya sebatas menjadi mantri cacar.Â
Mereka memberikan pelayanan kepada seseorang yang terkena penyakit cacar dan penyakit tak berbahaya lainnya. Kelak, para dokter itu pun berkumpul menjadi suatu ikatan tersendiri.Â
Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya. Tidak lagi bergelar Dokter Jawa melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Dokter-dokter ini berwenang mempraktekkan ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan.
Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular.Â
Dokter-dokter muda ini akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.
Tahun 1919 berdiri Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Salemba yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff.Â
Karena sarana dan prasarananya lebih lengkap dan modern, rumah sakit ini lalu dijadikan sebagai tempat praktek pelajar STOVIA.Â
Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba. Sekarang dikenal dengan "Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia". Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama pelajar.
Gedung STOVIA yang lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra. Gedung ini pada 1925 menjadi tempat pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker.Â
Masuknya tentara Jepang pada 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran.
Lantas apa hubungan Museum Kebangkitan Nasional dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)?Â
Ketika saya berbincang-bincang dengan Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode 2006 - 2009 dr. Zaenal Abidin, MH, katanya jelas sangat erat.
Dikatakan, IDI sudah ada sejak dulu sebelum diresmikan secara legal. Ketika itu, namanya Vereniging van Indische Artsen.Â
Tokoh organisasi perkumpulan dokter di Nusantara itu di antaranya dr. J.A.Kayadu, dr. Wahidin, dr. Soetomo dan dr. Tjipto Mangunkusumo.Â
Pada 1926, organisasi ini diubah menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VIG). Pada 1940, VIG menggelar kongres di Solo membahas banyak hal agar dokter Nusantara mempunyai derajat yang sama dengan dokter Belanda.
Lalu VIG berubah nama menjadi Jawa izi Hooko-Kai. Pada 30 Juli 1950, PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) dan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) menyelenggarakan rapat.Â
Atas usul Dr. Seno Sastromidjojo, dibentuk Panitia Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI) yang diketuai Dr. Bahder Djohan. Panitia ini bertugas menyelenggarakan Muktamar Dokter Warganegara Indonesia.Â
Muktamar tersebut bertujuan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter Indonesia yang baru. Yang tentunya menjadi wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun keluar negeri.Â
Pada 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park (sekarang gedung pertemuan Kotapraja) Jakarta. Sebanyak 181 dokter WNI menghadiri muktamar tersebut.Â
Terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama adalah Dr. Sarwono Prawirohardjo. Pada 24 Oktober 1950, Panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI Dr. Soeharto menghadap notaris R Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.
Nama yang tercantum dalam akta IDI, yaitu Dr. Soeharto, Dr. Sarwono Prawirohardjo, Dr. R. Pringgadi, Dr. Puw Eng Liang, Dr. Tan Eng Tie, dan Dr. Hadrianus Sinaga.Â
Sejak saat itu, Ikatan Dokter secara resmi memiliki legalitas hukum yang sah terlepas dari aroma penjajahan Belanda maupun Jepang. Dasar hukum itulah yang menjadi landasan ditetapkannya Hari Dokter Nasional.
Melihat perjalanan panjang pergerakan dokter Indonesia ini, sepertinya para dokter kita harus sering-sering berembug di Museum Kebangkitan Nasional. Dengan mengusung semangat kebangkitan Nasional.
Jadi, ketika ada masalah dalam organisasi, bisa dicarikan jalan ke luarnya. Ya sambil kembali mengenang perjuangan para dokter saat itu. Bagaimana mereka sama-sama mengesampingkan ego demi kemajuan, kesejahteraan, kesehatan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H