Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) pada Rabu, 27 April 2022, dideklarasikan. Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyanto menjadi Ketua Umum organisasi tersebut. Ia adalah mantan Staf Khusus saat dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad.
Terbentuknya PDSI mendapat tanggapan dari Ketua Umum PB IDI periode 2012 -- 2015, dr. Zainal Abidin, MH. Ia terpilih berdasarkan Muktamar IDI ke-27 di Palembang pada 2009. Dikukuhkan pada 24 November 2012 pada Muktamar IDI ke-28 di Makassar.
Dokter lulusan Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini memberikan catatannya. Ia meminta semua pihak untuk membaca sejarah terbentuknya IDI.
Katanya, mendirikan organisasi profesi apalagi profesi dokter harus dengan lahir atas dasar kemurnian niat. Tujuannya yang juga harus murni dan terhormat.Â
"Silakan belajar dari sejarah berdirinya IDI tahun 1950," katanya saat dihubungi, Jumat 29 April 2022.Â
Mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ini pun memflash back terbentuknya IDI pada 1950.Â
Sejarah Terbentuk IDI
Ketika itu, sudah ada organisasi dokter Indonesia. Ada dua, yakni Persatuan Dokter Indonesia (PDI) -- organisasi profesi dokter Indonesia pertama, yang dimotori dr. Darma Setiawan Notohadmojo.Â
PDI yang diketuai dr. Soeharto, itu menjadi wadah perjuangan kemerdekaan bagi dokter masa itu.
Tidak lama berselang berdiri dan berkembang pula Persatuan Perthabiban Indonesia (Pertabin) yang diketuai dr. Abdul Rasyid.
Kedua organisasi ini didirikan oleh tokoh dan dokter pejuang kemerdekan saat itu.
Karena kebesaran hati dari  tokoh dan pendiri kedua organisasi tersebut, sepakat untuk membentuk organisasi profesi dokter tunggal di Indonesia.
"Sebab mereka sadar sulit membuat dan menyamakan standar dokter Indonesia bila organisasi profesinya lebih dari satu," tuturnya.
Adanya oganisasi profesi tunggal ini untuk melindungi kehormatan masyarakat dari praktik dokter di bawah standar. Juga melindungi masyarakat dari perilaku dokter yang tidak terpuji karena melanggar moral etik profesi.Â
"Selain tentu saja untuk menjaga kehormatan profesi dokter itu sendiri. Jadi, niatnya harus lurus untuk membela dan melindungi suatu kehormatan. Bukan melindungi yang salah," tandasnya.
Ia menuturkan, dokter-dokter Indonesia baru berkesempatan membentuk organisasi profesi pada 1948 karena sebagian besar dokter masa itu terjun dalam perjuangan kemerdekaan.Â
Kesepakatan itu berlangsung pada 30 Juli 1950 di rumah dr. Soeharto (dokter kepresidenan saat itu) di Jl. Kramat 106 (kini Apotek Titimurni).Â
Hadir mewakili Perthabin dr. Abdul Rasyid dan dari PDI tentu dr. Soeharto sendiri. Juga hadir dr. Bahder Djohan, dr. Seno Sastroamidjojo, dan lain-lain.
Pada pertemuan di rumah dr. Soehato disepakati untuk mendirikan organisasi profesi baru. Organisasi yang menjadi representatif dunia dokter dan kedokteran Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Â
Mereka bersepakat membentuk organisasi dokter warga negara Indonesia (saja). Disepakati pula untuk menyelenggarakan Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia pertama (22-25 September 1950). Â
Disepakati Satu Wadah Tunggal
Dalam muktamar pertama tersebut disepakati membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia. Kata "Ikatan" adalah usulan dr. Soeharto.
Terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Dokter Indonesia pertama adalah dr. Sarwono Prawirohardjo (Prof) yang juga dikenal sebagai pendiri LIPI.Â
Pada 24 Oktober, dr. Soeharto mewakili panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI atas nama diri sendiri dan atas nama pengurus lain menghadap ke Notaris untuk mencatatkan IDI agar mendapatkan dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.Â
Itu sebabnya, pada 24 Oktober dikenal sebagai lahirnya IDI dan juga kemudian menjadi Hari Dokter Nasional.
"Para tokoh pendiri IDI itu adalah dokter pejuang kemerdekaan RI, bukan pecundang apalagi penghianat negeri," katanya.Â
Pada awal berdirinya IDI,  dokter-dokter Indonesia  lulus dari sekolah dokter yang berbeda-beda. Ada lulusan luar negeri seperti Eropa dan ada pulu lulusan Sekolah Dokter Jawa, Stovia, Nias dan lain-lain, yang standar pendidikannya berbeda.
Para pengurus sadar sulitnya memberi pelayanan yang terbaik bila standar dan mutu beragam. Karena itu, tugas utama dan pertama pengurus IDI ketika itu adalah membuat standar profesi dan menyamakan mutu dokter Indonesia.Â
"Mulai menyamakan kompetensinya, menyamakan pelayanan, menyamakan standar perilakunya dan juga berusaha menyamakan mutu pendidikan sekolah dokter di Indonesia," terangnya.Â
Jadi, sejak awal IDI selalu fokus menyusun standar profesi dan melatih anggotanya agar memenuhi standar dan berpraktik melayanai masyarakat sesuai standar.
Itulah tugas IDI sejak awal berdirinya sampai saat ini. IDI tidak pernah menerbitkan ijazah dokter karena bukan pekerjaanya, IDI tidak pernah keluarkan lisensi atau izin praktik dokter dan lain-lain karena buka kewenangnya.Â
Artinya, IDI tidak akan urusi yang bukan menjadi urusannya. Sebab IDI sangat tahu bahwa mengerjakan sesuatu yang bukan urusannya itu bukan karakter profesional sebuah organisasi profesi.Â
"Jadi kalau ada pejabat mengatakan IDI mengeluarkan izin praktik dokter dimaklumi saja. Mungkin karena beliau sibuk sehingga kurang baca," katanya.
Ada atau tidak ada UU Praktik Kedokteran memang urusan itu hanya soal profesi dokter saja. Kebetulan UU Praktik Kedokteran mengukuhkan IDI sebagai wadah tunggal dengan tugasnya tersebut. Ditambah lagi MK memperkuat posisi IDI sebagaimana yang diatur UU Praktik Kedokteran itu.
Mengapa IDI fokus pada standar dokter dan kedokteran sebab ada kehormatan yang wajib dilindungi. Ada kehormatan profesi dokter dan ada kehormatan pasien yang juga wajib dilindungi dan dihormati oleh dokter anggota IDI dalam praktinya.
Standar profesi itu isinya ada empat: Standar Pendidikan, Standar Kompetensi, Standar Pelayanan, dan Standar Etik.
Sekali pun standar pendidikan, standar kompetensi, dan standar pelayanan dipenuhi dalam melayani masyarakat tapi seorang dokter berperilaku tidak terpuji, tidak patuh kode etik kedokteran, maka dokter tersebut dapat disebut tidak memiliki kehormatan dan kemuliaan sebagai anggota profesi yang mulia.Â
"Jadi, penting sekali kedudukan moral etik untuk dimiliki oleh seorang yang berprofesi sebagai dokter," tandasnya.
Baca Keputusan MK
Lalu bagaimana tanggapan dr. Zaenal dengan terbentuknya PDSI? Sebagai warga negara yang berada di dalam negara demokrasi tentu ia menganggapnya sah-sah saja.Â
Tapi ketika organisasi itu hendak menjadi organisasi profesi dokter di Indonsia tentu perlu membaca UU Praktik Kedokteran.Â
Juga membaca kembali putusan MK yang menegaskan IDI satu-satunya organisasi profesi dokter Indonesia dengan segala tugas dan kewenangannya.Â
"MK sendiri telah memberikan alasannya dalam putusan tersebut. Silakan baca saja," katanya.Â
Seingat saya, kebetulan waktu itu saya ikut mengikuti perkembangan judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 menyatakan IDI satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia.Â
Organisasi profesi memiliki ciri tunggal untuk satu jenis profesi. Kegiatannya dibatasi profesionalisme dan etika. Untuk mengambil keputusan dalam berorganisasi harus ada forum rapat bersama
"Bagi IDI saran saya sebaiknya menanggapi secara proporsional saja. Mungkin IDI juga tidak perlu habiskan waktu untuk menanggapinya," ujarnya.Â
Sebaiknya, IDI fokus saja kepada tugas utamanya mengurus, membina dan mendampingi anggotanya agar selalu bekerja sesuai standar dan melayani masyarakat juga sesuai standar profesi kedokteran, dan tentu dengan perilaku yang terpuji.
"Terkait berita bahwa pada deklarator dan anggota PDSI akan keluar dari keanggotaan IDI, menurut saya pribadi itu hak mereka. Jadi terserah mereka saja," tukasnya.
Harus Tetap Solid
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI dr Moh Adib Khumaidi mengatakan jika organisasi kedokteran lebih dari satu akan berdampak pada standar, kode etik, hingga pelayanan kepada masyarakat. Ini yang menjadi konsern kekhawatirannya.
"Dalam UU Praktik Kedokteran, organisasi profesi dokter satu-satunya adalah IDI," katanya, Jumat 29 April 2022, dalam pernyataan resminya terkait dinamika organisasi.
Untuk dapat memberikan perlindungan kepada pasien, meningkatkan mutu layanan, dan memberikan kepastian hukum pada masyarakat maka organisasi kedokteran harus tunggal.
"Standar layanan, etik, kompetensi, dan mutu layanan harus muncul dari satu organisasi profesi," tegasnya.
Bila organisasi kedokteran lebih dari satu, tentu akan berpotensi membuat standar, persyaratan, sertifikasi keahlian, dan kode etik berbeda.Â
Kondisi ini justru akan membingungkan tenaga profesi kedokteran maupun masyarakat pengguna jasa kesehatan.Â
Ia mengingatkan organisasi profesi kedokteran itu hanya satu. Di negara-negara lain juga cuma satu. UU kita juga hanya mengakui IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran.
Karena itu, ia meminta kepada seluruh anggota organisasi profesi medis untuk tetap solid. Terlepas ada tidaknya PDSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H