Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

"Merana" di Halte Bus Pengumpan Transjakarta

26 April 2022   21:15 Diperbarui: 26 April 2022   21:25 2424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai mengikuti agenda kegiatan di BPH Migas, Mampang, Jakarta Selatan, Senin, 25 April 2022, saya melanjutkan perjalanan saya ke tujuan lain, di sekitar Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Acaranya sih sebenarnya sore sekalian dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Mengingat perjalanan ke sana saya menggunakan busbTransjakarta, sepertinya perjalanan ke sana butuh waktu agak lama.

Lho iya kan, saya harus transit beberapa kali untuk bisa sampai tujuan. Untuk sekali transit saja juga tidak sebentar. Harus menunggu dan itu cukup menyita waktu. Ya memang begini kalau mau irit ongkos hehehe...

Planningnya begini. Saya naik bus Teje koridor B7 rute Blok M - Kampung Rambutan, transit di halte BKN (Badan Kepegawaian Negara) UKI.

Lalu naik yang ke Harmoni, lanjut naik yang ke Pulogadung, turun deh di Halte Cempaka Tengah. Gedung yang saya tuju persis di depan halte ini. Tarifnya only 3500 perak.

Ok. Untuk bisa naik bus Teje koridor B7, saya harus berjalan kaki dulu ke arah Kantor Pos Indonesia Mampang. Rambu bus pengumpan Transjakarta memang di sini. Jarak antara gedung BPH Migas lumayan juga sih.

Saya tidak sendiri. Berdua dengan kawan saya, Elva Setyaningrum. Dia nanti turun lebih awal dibanding saya.

Di halte bus pengumpan ini, tidak saya temukan fasilitas tempat duduk buat calon penumpang. Saya perhatikan ada calon penumpang yang menunggu dengan berdiri. Padahal, usianya sudah terlihat lansia.

Lima menit berlalu, bus Teje yang ditunggu belum juga tiba. Saya mulai pegal. Yang tadinya berdiri, saya duduk di bongkahan batu di bawah plang bus pengumpan.

Eh lima menit berlalu Bus Teje belum juga menampakkan batang hidungnya, eh bodynya. Saya mulai pegal ini. Duduk dengaj posisi tidak menyender, punggung saya menjadi tegang. Terlebih kondisi saya masih agak kurang fit pasca vaksinasi booster.

Lima menit berlalu, belum datang juga. Saya pindah posisi duduk. Lesehan di trotoar dengan beralasan kertas. Panas cukup terik saat itu. Bibir saya terasa kering. Maksudnya, haus begitu? hehehe...

"Lama juga ya," kata saya pada kawan saya.

"Di sini sih tertulis 13 menit lagi," jawabnya sambil menunjuk ke hpnya. Di hpnya, dia punya group atau aplikasi mengenai perjalanan bus Teje. Koridor berapa, berapa lama, posisi di mana. Lengkap deh.

Bus Teje baru tiba setelah hampir 30 menit menunggu. Menurut saya, ini waktu yang cukup lama. Apakah armadanya yang terbatas?

Persoalannya buat saya bukan masalah lamanya. Yang saya persoalkan tidak adanya fasilitas umum seperti tempat duduk untuk calon penumpang. Ya selayaknya di halte-halte yang bukan bus pengumpan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Iya, kalau menunggunya sebentar, kalau lama? Bagaimana juga kalau hujan, atau panas terik? Di mana harus meneduh? Masa harus duduk lesehan seperti saya? Ya kan tidak lucu, dan memang tidak lucu.

Saya sudah beberapa kali naik bus Teje dari depan kantor Pos Indonesia Mampang, dari sebelum pandemi Covid-19 melanda. Eh, masih begitu-begitu juga. Dari mulai hujan-hujanan sampai tersengat teriknya bias mentari.

Kalau anak muda mungkin masih punya stamina yang kuat, bagaimana jika dalam keadaan kurang sehat atau lansia? Tadi saja ada lansia menggoyang-goyangkan kedua kakinya menandakan sudah cukup pegal.

Jika diperhatikan, "halte" bus pengumpan Teje yang merana ini, tidak di sini saja. Hampir sebagian besar kondisinya tidak beda jauh. Hanya ada rambu bertulis "bus pengumpan". Itu saja. Tidak ada lagi yang lain.

Saya sudah sering juga naik bus pengumpan Teje di wilayah lain. Kondisinya ya sama. Merana juga. 

Pernah suatu ketika, usai menghadiri acara di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, saya dan beberapa teman menunggu bus Teje di rambu bus pengumpan, eh tidak lama hujan. 

Membuat kami bingung mau berteduh di mana. Untungnya, tidak lama bus Teje pun tiba.

Ada juga sih yang sedikit nyaman karena berada di rimbunan pepohonan. Tapi, menurut saya, tetap saja tidak cukup. Ya setidaknya, ada tempat penyangga badan ketika berdiri.

Itu lho yang seperti di stasiun-stasiun kereta, yang mirip jemuran itu. Tidak duduk sih, tapi badan masih bisa menyandar. Jadi, masih bisa mencegah urat-urat punggung menegang.

Memang sih keberadaan halte bus pengumpan ini sangat membantu masyarakat untuk naik bus Teje di halte di jalur utama. Apalagi tarifnya terintegrasi. Hanya Rp3500.

Tapi, perlu juga difasilitasi halte yang nyaman dari hujan dan panas. Betul tidak? Masa yang diperhatikan hanya halte-halte di jalur utama, sementara halte bus pengumpan seperti dianaktirikan. Kurang diperhatikan. Kurang kasih sayang. Di situ, saya jadi syeddih huhuhu...

Memang sih, kalau dilihat dari penampakkannya ya tidak bisa dibilang halte juga sih. Karena yang namanya halte itu kan semacam ada bangunan yang dapat menampung calon penumpang.

Bangunan ini agar terhindar dari hujan dan terik matahari. Ada tempat duduk meski tidak empuk. Ya, lumayanlah daripada lumanyun.

Tapi, kalau merujuk pada wikipedia, halte bus disebut juga tempat perhentian bus, shelter bus, atau setopan bus adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang bus, biasanya ditempatkan pada jaringan pelayanan angkutan bus dalam kota.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan halte adalah perhentian kereta api, trem, atau bus (biasanya mempunyai ruang tunggu yang beratap, tetapi lebih kecil daripada stasiun).

Nah, bisa dibilang halte juga kan tempat menunggu bus pengumpan Teje? Jadi, seharusnya mendapat perhatian yang sama dengan halte-halte lain yang lebih nyaman dan luas.

Meski tidak memiliki ruang tunggu, tapi di rambu ini adalah tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Sama saja artinya dengan halte. Iya kan?

Saya sudahi ocehan saya ini. Mungkin lebih tepatnya keluhan saya dan mungkin juga keluhan masyarakat yang lain. Semoga pihak Transjakarta membaca keluhan saya ini dan membenahinya.

Demikian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun