Sedangkan yang kontra warga meminta jalan tersebut tidak ditutup permanen. Warga menyadari pintu perlintasan itu belum memiliki izin atau belum terdaftar secara resmi.
Namun, jika ditutup, warga yang tinggal di sekitar Gang Rawageni harus memutar mencari jalan alternatif, yang jaraknya jadi cukup jauh dan waktu tempuh yang lebih lama.
Terlebih warga melintasinya  untuk banyak keperluan. Ya ke sekolah, bekerja, ke pasar, berbelanja hingga urusan pemakaman dan berobat.
Jalan alternatif ini juga termasuk "jalan tikus" yang melewati permukiman warga yang cukup padat.
Bisa dibayangkan bukan, jalanan sempit dilewati banyak kendaraan? Apa tidak bikin semakin bising? Belum lagi, banyak anak kecil yang bermain. Tentu saja membuat orangtua harus meningkatkan kewaspadaan.
Iya, mungkin tidak masalah bagi warga yang mengendarai motor. Bagaimana dengan warga yang naik angkot dan turun di Gang Rawa Geni?
Bagaimana juga warga yang pesan ojek online? Ongkosnya jadi lebih mahal karena jarak tempuh yang semakin jauh.
"Kalau saya minta dibuka. Soalnya, ini jalan utama. Ini bisa ke Jembatan Serong, ke Cipayung, bisa ke Pitara, bisa ke Sawangan," kata Irfan seorang tukang ojek pangkalan di samping rel.
Persoalan bukan hanya di situ saja. Jalan alternatif yang ditempuh itu menembus jalan Dipo. Nah, di jalan tembusan ini akhirnya padat juga. Timbul kemacetan baru.
"Tembus-tembusnya di jalan Dipo itu. Muternya jauh juga," kata Marjudin, kawan saya yang tinggal tidak begitu jauh dari Rawageni.