Sudah pernah berkunjung ke lapas khusus anak? Kalau belum, saya kasih gambaran ya. Laporan pandangan mata.Â
Kebetulan, Sabtu, 16 April 2022, saya berkesempatan berkunjung ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) kelas 1 Tangerang, Banten. Ini adalah tempat anak menjalani masa pidananya.
Dulu, namanya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria. Lapas anak ini kemudian berubah menjadi LPKA. Lapas Anak dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dan perkembangan sistem peradilan pidana anak.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa "penjara" anak harus lebih menekankan pada pendidikan.Â
Sebelum masuk ke dalam LPKA, tamu atau pengunjung harus dalam keadaan negatif Covid-19. Jadi, pengunjung atau tamu harus melakukan test swab antigen terlebih dulu.
Pihak LPKA sudah menfasilitasi kebutuhan akan test antigen ini. Free alias tidak bayar. Biayanya sudah dianggarkan oleh pemerintah. Wah, bagus dong ya. Jadi, tidak memberatkan masyarakat.
Kebetulan saya sudah swab antigen sehari sebelumnya di Kantor Kongres Wanita Indonesia (Kowani) di jalan Iman Bonjol, Jakarta Pusat.Â
Ya, Kowani, organisasi federasi perempuan terbesar dan tertua itu melakukan kunjungan Amaliyah Ramadan 1443 Hijriah di LPKA. Kunjungan dipimpin langsung oleh Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd.
Kata petugas, Kowani menjadi pihak pertama yang berkunjung ke LPKA setelah dua tahun ditutup untuk dikunjungi karena pandemi Covid-19. Namun, untuk pihak keluarga belum ada arahan kapan boleh menjenguk anaknya.
Selama pandemi, keluarga yang berkunjung hanya boleh menitipkan makanan di ruang khusus, yang berada di sebelah kanan gedung. Karena tidak boleh bertemu, maka pihak LPKA memfasilitasinya dengan video call.Â
Kasihan juga ya. Sekian lama tidak bertemu, eh perjumpaan hanya melalui video call. Jelas, rindu yang amat menyesakkan dada. Saya bisa pastikan "pertemuan" itu juga penuh keharuan.
Ok, setelah dipastikan tamu atau pengunjung negatif Covid-19, kami pun dipersilakan masuk. Tapi ada syaratnya. Pengunjung harus menitipkan handphonenya kepada petugas.Â
Entah, maksudnya apa? Mungkin khawatir hp tersebut "diselundupkan" ke anak sehingga orang tua leluasa memantau kondisi anak?Â
Bagaimana dengan saya? Karena saya melakukan tugas profesi saya, maka diperkenankan untuk membawa handphone. Syukurlah. Kalau hp ditahan, bagaimana saya bisa mengabadikan suasana LPKA ini?
Di bagian depan, di area "skrining" itu, saya perhatikan, berderet loker andik pas (anak didik pemasyarakatan). Berikut nama-namanya. Dugaan saya, barang-barang titipan keluarga disimpan di situ. Nanti oleh petugas baru diserahkan.
Ada juga white board bertuliskan berbagai informasi di LPKA. Nama petugas, jadwal piket. Saya perhatikan, di situ tertulis ada 64 andik pas di sini. Alhamdulillah masih "sedikit" dibandingkan Lapas orang dewasa.
Seingat saya, sepertinya saya belum pernah berkunjung ke lapas anak. Entah kalau belasan tahun berlalu. Lupa saya.Â
Itu sebabnya, ketika saya menjejakkan kaki di dalam area LPKA, bayangan seram penjara tidak saya dapatkan. Penjaga garang, kawat berduri, gersang, tidak saya temukan.
Benaran, tidak ada seram-seramnya. Saya seperti memasuki lembaga pendidikan sekolah. Saat menyusuri koridor, saya temui beberapa andik pas yang memakai seragam sekolah yang tengah usai mengikuti pembelajaran.Â
LPKA ini memang menyediakan sekolah untuk jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. SD? Apakah anak yang berhadapan dengan hukum di sini ada yang berusia SD?Â
Memangnya anak SD yang secara inkhrah bersalah juga harus dipenjara? Bukankah ada pengecualian diserahkan kepada keluarga untuk dibina? Begitu pemikiran saya.
Ternyata, kata Setyo Pratiwi, Kepala LPKA Kelas 1 Tangerang, andik pas yang mengikuti pendidikan tingkat SD di sini, bukan berarti mereka yang berusia SD. Tetapi mereka yang putus sekolah atau tidak tamat, maka disekolahkan lagi.
Misalnya, si A yang berusia 16 tahun ketika dibina di sini, tidak tamat SD, hanya sampai kelas 5. Nah, oleh pihak LPKA disekolahkan lagi sesuai dengan pendidikan terakhirnya. Tamat SD, si A mendapatkan ijazah.
Begitu pula dengan anak binaan lain yang putus sekolah di tingkat SMP dan SMA. Disekolahkan lagi hingga tamat dan juga mendapatkan ijazah.
Dengan ijazah ini, anak binaan bisa melanjutkan ke  jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Bisa melanjutkan sekolah di sini atau bisa juga di luar LPKA.Â
Ijazah yang diterima legal. Resmi dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak beda jauh dengan ijazah yang diterima di sekolah formal.Â
"Para andik ini mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah formal karena ijazah tersebut diterbitkan langsung dari dinas pendidikan," kata Kepala LPKA.
Dengan harapan ijasah ini bisa menjadi bekal andik pas jika sudah kembali ke masyarakat. Wah, keren. Sangat manusiawi.Â
Sebagai penunjang pembelajaran LPKA ini dilengkapi dengan perpustakaan, laboratorium, dan bengkel motor. Lingkungan yang serupa dengan sekolah.
Tidak hanya suasananya, namun juga halamannya yang luas. Â Â
Proses belajar-mengajar di sekolah Istimewa LPKA Tangerang ini dimulai pukul 08.00 - 11.00 WIB. Selesai sekolah, peserta didik bisa melakukan kegiatan lain.
Misalnya, praktek teknik mesin sepeda motor, belajar mencukur rambut, membuat kerajinan tangan, hingga belajar teknik las yang berlangsung dari Senin hingga Kamis. Dengan kata lain, dibekali juga dengan soft skill.
"Jenjang pendidikan formal yang ada di sini, satu-satunya yang mandiri. Tidak lagi bergabung dengan sekolah lain. Semuanya bernama Istimewa. SD Istimewa, SMP Istimewa, SMK Istimewa LPKA kelas 1 Tangerang," katanya.
Di LPKA juga menyediakan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk memupuk kepercayaan diri dengan bekal keterampilan. LPKA juga menerima masyarakat tidak mampu di sekitar LPKA yang ingin belajar keterampilan di PKBM.
LPKA ini memang bertujuan membentuk andik memiliki kompetensi akademik, kepribadian, dan keterampilan yang cukup. Setelah keluar dari LPKA mereka diharapkan berhasil, sukses, serta kembali memiliki jatidiri yang positif.
Saya pikir, yang namanya di penjara, ya seharian di dalam ruangan. Tidak ke mana-mana. Terkurung di balik jeruji. Makan di ruangan, apa-apa di ruangan. Ternyata gambaran saya salah.Â
Mereka ada di ruangan hanya ketika malam tiba selepas Isya hingga menjelang Subuh. Selebihnya ya bebas, mau melakukan kegiatan apa. Meski bebas tapi sesuai jadwalnya. Di aula terpampang papan agenda kegiatan para andik.
Kalau Jumat, kegiatan di sekolah Istimewa LPKA Tangerang diisi dengan olahraga, Sabtu diisi dengan kegiatan pramuka, dan Minggu digunakan untuk istirahat. Benar kan mirip banget dengan lingkungan sekolah.
Dikatakan Setyo Pratiwi, LPKA ini memang dirancang untuk menjadi lingkungan yang baik untuk membina andik. Negara berkewajiban memenuhi hak anak, termasuk andik di dalamnya. Tentu saja sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak.
Kepala LPKA pun mengizinkan saya untuk mengitari area LPKA. Didampingi seorang petugas, saya dan dua kawan saya mulai "touring". Cuma oleh petugas diingatkan untuk tidak sembarang memotret sebagaimana arahan dari Pusat.
Kami melihat-lihat kamar penjara. Setiap kamar luasnya sekitar 3 x 2 meter. Ada 2 Â tempat tidur bertingkat dengan 4 kasur. Jadi, satu ruangan ini dihuni oleh 4 anak binaan.Â
Ada lemari pakaian juga. Di depan ruangan disediakan dispenser. Menurut saya sih sudah cukup manusiawi dan nyaman. Bandingkan jika tidur beralaskan tikar di lantai.Â
Di dalam ruangan juga ada kamar mandi tanpa bilik, hanya tersekat tembok seukuran pinggang. Tapi, kalau mau dipasang hordeng atau penutup juga boleh. Saya perhatikan ada beberapa kamar yang begitu.
Kamar anak-anak binaan ini terbagi dua bangunan. Satu bangunan berwarna biru, satu bangunan lagi berwarna kuning. Tidak ada makna tertentu mengenai warna ini. Apakah andik "kelas berat" dan "kelas ringan" dipisah, ya tidak juga. Itu sih biar terlihat lebih berwarna saja.
Jarak antara kedua bangunan hitungan saya sih sekitar 100 meter. Tidak ada kawat berduri yang melingkupi. Mau melarikan diri? Buat apa? Lagi pula meski nyaman, susah untuk bisa melarikan diri.
LPKA juga menyediakan satu kamar untuk penyandang disabilitas. Di dalamnya, ada satu tempat tidur dan kipas angin.Â
Hmmm... memang ada ya anak penyandang disabilitas yang melakukan kejahatan? Mencuri, membunuh, merampok, melakukan kekerasan seksual? Saya sepertinya belum menemukan satu pun berita mengenai hal ini.
Saya pun bertanya kepada petugas, selama LPKA ini berdiri apakah pernah ada andik penyandang disabilitas? Ia belum bisa memastikan. Namun, selama ia ditugaskan di sini dalam dua tahun terakhir ini, belum ada andik dengan penyandang disabilitas.Â
"Kamar ini disediakan untuk berjaga-jaga saja," katanya. Petugas ini masih muda.Â
Selain kamar disabilitas, juga ada kamar isolasi. Kamar yang diperuntukkan bagi andik pas yang memiliki penyakit tertentu, semisal TBC. Kebetulan kamar isolasi ini berdekatan dengan klinik.
Ruang klinik terlihat cukup luas. Ada 4 bed yang bisa menampung andik yang perlu perawatan. Petugas kesehatan menjelaskan, jika penyakitnya tidak bisa ditangani di sini, maka pasien andik dirujuk ke rumah sakit. Sejauh ini sih, penyakitnya masih bisa tertangani.
Lanjut mengitari area lain. Ada bengkel yang cukup lengkap, ada lapangan yang cukup luas, ada taman yang cukup hijau, ada tempat ibadah bagi andik yang beragama Islam, ada juga tempat ibadah bagi yang beragama Kristen, dan ada dapur. Lengkap deh.
Jadi, LPKA ini memang konsepnya serasa berada di rumah. Sehingga anak-anak merasa nyaman, aman, terlindungi, dan diayomi.Â
Bisa jadi juga karena Kepala LPKA seorang perempuan, dan juga seorang ibu. Berkat sentuhannya yang meliputinya dengan kasih sayang dan perhatian, anak-anak binaan ini sudah menganggapnya sebagai ibunya sendiri. Ibu kedua selain ibu kandungnya.
Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto merasakan LPKA sekarang berbeda dengan dulu ketika dirinya menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2004-2008.Â
Hampir setiap bulan Giwo berkunjung ke Lapas Anak ini. Dulu, katanya, kurang nyaman, tidurnya juga masih di lantai. Gersang. Penuh sesak. Mungkin karena dulu pimpinan Lapas seorang bapak, jadi kurang sentuhan keibuannya.Â
"Sekarang, sangat jauh berbeda. Lebih nyaman, aman, dan diayomi. Tidak ada kekerasan. Tidak over kapasitas juga. Sehingga anak-anak merasa berada di rumah sendiri. Tidur juga pakai ranjang dan kasur," tuturnya.
Giwo senang pimpinan Lapas sekarang dipimpin oleh seorang ibu sehingga paham bagaimana kondisi anak. Anak-anak pun mendapatkan perhatian kasih sayang layaknya anak-anak sendiri.
Itu yang membuat anak-anak didik lapas ini seolah memiliki ibu kedua selain ibu kandungnya. Membuat mereka menjadi nyaman meski hidup harus terpisah dengan orang tua di rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H