Saraf kejepit (atau saraf terjepit?). Istilah yang sering kita dengar. Beberapa waktu lalu, artis Raffi Ahmad diberitakan terkena saraf kejepit setelah menggendong anaknya, Rafatar, dengan posisi tubuh yang salah.
Setelah ditangani oleh dokter dengan tindakan endoskopi PSLD Joimax di Klinik Lamina Pain and Spine Center, saraf kejepit Raffi akhirnya sembuh dan kondisinya semakin membaik.
Penanganannya pun tidak sampai harus dirawat inap di rumah sakit. Setelah ditangani, Raffi Ahmad pun diperbolehkan pulang.
Apa sih saraf kejepit? Jika kita merasa punggung tiba-tiba terasa sakit ketika membungkukkan badan, seperti yang dialami Raffi Ahmad, bisa jadi kita terkena saraf kejepit.
Rasa sakit akibat saraf kejepit ini sebenarnya bisa reda sendiri seiring waktu setelah minum obat pereda nyeri. Tapi..., dalam beberapa kasus, dibutuhkan bantuan medis untuk mengobati saraf terjepit.
Saraf kejepit, terang dr. Mahdian Nur Nasution, spesialis bedah saraf, dapat terjadi di sejumlah tempat di tubuh. Area yang paling umum, meliputi leher, bahu, pergelangan, siku, punggung bawah, dan pada bagian tubuh lainnya. Namun, umumnya kerap menyerang punggung yang menyebabkan rasa sakit dan mati rasa.
Kondisi ini terjadi ketika jaringan di sekitar saraf, seperti tulang, otot, tendon, dan tulang rawan, memberikan terlalu banyak tekanan pada suatu area saraf.
"Akibat dari tekanan yang tidak wajar ini berdampak pada terganggunya fungsi normal saraf," katanya Sabtu, 2 April 2022.
Saraf kejepit bisa dipicu ketika ada tekanan pada saraf. Tekanan bisa disebabkan oleh gerakan yang dilakukan berulang-ulang untuk jangka waktu lama, contohnya posisi siku ditekuk saat tidur.
Biasanya, jika ada saraf yang kejepit, tubuh lantas bereaksi dengan mengirim sinyal rasa sakit, mati rasa/baal, kesemutan, atau rasa seperti tersengat. Ini semacam alarm bahwa ada sesuatu yang salah di tubuh kita.
"Saraf kejepit bisa terjadi karena adanya bantalan tulang yang menonjol. Kondisi ini, akan memicu sensasi nyeri, kesemutan, baal atau mati rasa, hingga melemahnya otot," jelas dr. Mahdian.
Saat alami saraf terjepit, tubuh bakal mengirimkan "sinyal" berupa nyeri. Nah, sinyal ini sebaiknya tidak kita abaikan begitu saja. Jika kita abai dikhawatirkan kerusakan saraf menjadi komplikasi.
Masalah saraf kejepit ini bisa terjadi karena faktor usia. Lazimnya, semakin bertambah usia, diskus vertebra (penghubung antara tulang) menjadi tidak fleksibel dan mudah robek.
Bisa juga karena melakukan aktivitas yang memberatkan tulang belakang, misalnya mengangkat beban berat. Atau juga karena cedera tulang belakang.
Â
Kondisi ini  bisa dialami  oleh segala usia. Namun, paling sering sih menyerang usia 30-50 tahun dan puncaknya pada 40-45 tahun.
Dikatakan, pengobatan saraf kejepit terbagi dua. Untuk kasus ringan bisa diatasi dengan melakukan tindakan konservatif berupa obat-obatan dan fisioterapi.
Namun, jika nyeri tidak juga kunjung hilang atau bahkan bertambah parah, biasanya pasien dianjurkan untuk ditangani dengan tindakan pembedahan. Yaitu dengan teknik konvensional dan teknik minimal invasif (modern).
Sayangnya, kebanyakan pasien kerap kali khawatir dengan tindakan operasi konvensional ini. Wajar khawatir mengingat operasi konvensional atau laminektomi membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam.
Belum lagi risiko terjadinya infeksi pada luka karena membutuhkan sayatan yang besar. Atau juga risiko kegagalan ditambah waktu penyembuhan yang cukup lama.
Nah, dengan teknik bedah minimal invasif resiko itu bisa dikurangi. Tindakan endoskopi PELD/PSLD Joimax dari Jerman bisa menjadi solusi terkini atasi nyeri akibat saraf kejepit.
Dibandingkan operasi konvensional, kata dr. Mahdian Nur Nasution, Sp.BS. endoskopi Percutaneous Lumbar Disectomy (PELD) dan Percutaneous Stenoscopy Lumbar Decompression (PSLD) Joimax ini lebih efektif, efisien, dan aman dalam berbagai hal.
"Tindakan endoskopi ini hanya dilakukan dengan membuat sayatan kecil sebesar 7 mm atau kurang dari 1 cm. Berbeda dengan operasi konvensional yang membutuhkan sayatan sekitar 15 cm," jelas dr. Mahdian.
Waktu yang dibutuhkan untuk tindakan endoskopi PSLD ini jauh lebih cepat. Hanya sekitar 30-45 menit. Risiko komplikasi atau trauma pada jaringan juga minimal.
Selain itu, proses penyembuhan pasca-tindakan lebih cepat dibandingkan dengan operasi konvensional. Hanya menggunakan bius lokal, tanpa rawat inap, dan cukup aman.
"Masa perawatannya sekitar 1-2 hari, pasien lebih cepat pulih dan beraktivitas. Risiko kambuhnya pun lebih kecil. Terpenting, tidak memicu perlengketan ataupun infeksi setelah tindakan," jelasnya.
Endoskopi PELD/PSLD ini sendiri terdiri dari alat super kecil seperti kamera, selongsong, dan penjepit. Alat-alat super kecil ini bisa dengan mudah menjangkau ke dalam jaringan atau area yang kaya persarafan pada tulang belakang.
Di sekitar lokasi tersebut mungkin banyak terjadi jepitan pada saraf. Dengan menggunakan endoskopi tentunya akan mempermudah dokter untuk mengambil bantalan tulang yang menonjol penyebab rasa nyeri pada pasien.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H