"Nggak tau, Bu. Tadi aja yang duduk, berdiri lagi," timpal penumpang yang lain.
Petugas juga berulang kali menginformasikan hal yang sama melalui pengeras suara. Bahwa penumpang duduk dibatasi dan sejumlah larangan-larangan lainnya seperti tidak boleh mengobrol dan menelepon.
Ya, ya, ya mengapa informasi menjadi simpang siur begini ya. Sebelumnya, sejak 9 Maret 2022, penumpang bisa duduk berdempetan di kursi penumpang di KRL. Meski, penyebaran Covid-19 di masih terjadi.
Itu ditandai dengan dicopotnya tanda-tanda larangan duduk di bangku penumpang. Tanda dua telapak kaki di lantai gerbong juga sudah tidak ada.
Kondisi ini juga memunculkan pro kontra di antara penumpang KRL. Yang masih khawatir dengan penyebaran Covid-19 merasa lebih nyaman jika duduk dibatasi.
Sementara penumpang yang "biasa-biasa" saja, ya setuju-setuju saja jika duduk tidak dibatasi lagi. Kita mau tidak mau memang harus hidup berdampingan dengan Covid-19.
Bagaimana dengan saya? Saya sebagai penumpang KRL garis keras, mengikuti saja bagaimana aturan pemerintah. Dibatasi, ya dibatasi. Tidak dibatasi, ya senang-senang saja.
Cuma yang menjadi catatan saya, kalau duduk dibatasi dengan alasan untuk menghindari penularan Covid-19, ya tidak efektif juga.
Bagaimana ketika penumpang penuh? Penumpang yang duduk dibatasi, tetapi penumpang yang berdiri tidak dibatasi. Apa efektifnya? Apa iya, yang duduk jadi aman? Ya, kan tidak.
Jadi, menurut saya, kalau mau dibatasi, ya dibatasi sekalian. Misalnya, jam sekian di stasiun A, jumlah penumpang dibatasi sekian. Begitu pula di stasiun B dan stasiun-stasiun berikutnya.
Di setiap stasiun harus ada layar yang menginfokan jumlah penumpang yang sudah check in. Jadi, penumpang bisa tahu mengapa ia dilarang untuk tidak boleh masuk di jam tersebut.