"Oh, boleh ya?" tanya saya.Â
Pengemudi menjawab boleh selama akunnya berbeda nomor. Dengan kata lain, dia memiliki dua hp dengan dua nomor yang berbeda, dua akun kemitraan yang  berbeda, dengan dua operator yang berbeda, dan email yang berbeda.Â
Waktu dia mendaftar menjadi mitra, Â dia juga menyampaikan bahwa dirinya memiliki akun untuk aplikasi transportasi daring yang lain. Dan, itu tidak dipermasalahkan.Â
"Jadi, kalau tadi saya ordernya di Gojek ada kemungkinan orderan saya diterima sama Mas juga dong ya?" kata saya, Â yang dijawab "bisa jadi".
Jadi, ketika hp menerima order, maka hp yang satu dimatikan. Nanti, ketika tujuan sudah mulai dekat, hp dihidupkan lagi. Ketika ada order untuk Gojek, Â akun di Grab dimatikan dulu. Begitu pula sebaliknya.Â
"Duluan mana aja yang masuk. Grab atau Gojek. Biar tidak masuk order dalam waktu bersamaan," katanya.Â
Mengapa harus ada dua akun? Apakah berpengaruh dengan berapa banyak penghasilan yang didapat? Katanya sih lebih kepada untuk mempersingkat waktu menunggu order yang masuk saja. Soal pendapatan sama saja.Â
Jika ia hanya punya 1 akun, belum tentu dalam waktu 30 menit ia bisa menerima orderan. Bisa-bisa 1 jam lebih. Â Kalau lagi sepi banget bisa lebih dari 1 jam, bahkan pernah 2 jam. Terlebih di saat pandemi dengan segala pembatasan aktifitas. Â Â
Nah, kalau dia punya 2 akun, Â waktu menunggu bisa jadi lebih singkat. Jika di akun yang satu belum ada order yang masuk, maka peluang menerima order di akun yang satu lagi terbuka lebar. Begitu penjelasannya.Â
Memang sih, Â selama saya naik taksi online beberapa kali keluhan yang disampaikan pengemudi ke saya, bahwa dia baru menerima order dari saya setelah sekian lama menunggu. Â
"Ini sudah 2 jam Bu, ngider-ngider, Â baru dapat Ibu. Alhamdulillah ini. Â Bersyukur banget," kata pengemudi lain dalam kesempatan yang berbeda.Â