Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KDRT Bukan Aib, Laporkan!

4 Februari 2022   10:44 Diperbarui: 4 Februari 2022   11:06 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maksudnya tausyiahnya sih baik. Menutup aib suami sesuatu yang memang dianjurkan oleh agama. Setidaknya dalam agama yang saya anut dan saya yakini. Dalam agama lain pun pastinya mengajarkan hal yang sama.

Sayangnya, contoh yang dibawakannya dalam satu ceramah, salah. Tidak tepat juga. Ini menurut saya ya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah aib yang harus dipendam sedemikian rupa oleh isteri. 

Aib yang harus ditutupi itu, menurut saya ya, semisal suami pelit mengeluarkan uang, suami korengan, suami suka pinjam uang, penghasilan suami kurang, kepala suami peyang, suami tidak menafkahi, dan lain-lain. 

Nah, itu baru namanya aib. Tetapi... kalau sudah ada kekerasan, itu sudah lebih dari aib. Karena itu, harus ditengahi. Mendatangi orang yang tepat agar dicarikan jalan keluarnya. Bisa orangtua, polisi, tokoh agama, atau tokoh masyarakat.

Kekerasan itu tidak saja meliputi fisik, tetapi juga psikis. Caci maki atau perkataan kasar yang menyudutkan, merendahkan, meremehkan, itu juga termasuk kekerasan dalam rumah dalam rumah tangga.

Bercerita tentang KDRT yang seseorang alami kepada orangtua atau pihak lain yang berkompeten, seperti polisi, menurut saya, bukan untuk menceritakan aib suami. Tetapi sebagai upaya mencari jalan ke luar atau solusi bagaimana persoalan ini bisa terselesaikan dengan baik dan tidak mengulanginya lagi.

Kalau tamparan atau pukulan suami ke pasangan itu bukan jenis aib yang harus ditutupi. Masa iya, isteri diam saja dipukuli sampai lebam-lebam, ditampari sampai wajahnya bonyok. Kalau isteri diam, tidak bersuara atau speak up, ya bakal terjadi lagi-terjadi lagi. 

Ini bukan masalah isteri lebay atau tidak seperti yang disampaikannya. Tapi karena memang sudah tidak kuat lagi, makanya isteri bercerita.

Rasulullah saja mengajarkan umatnya bersikap lemah lembut ke pasangan. Rasulullah sering menasihati pada suami adalah bagaimana berbuat baik kepada sosok isteri.

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku" (HR. At-Tirmidzi)

Allah juga berfirman, "Dan pergaulilah istrimu-istrimu dengan baik. Lalu, jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin engkau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-Nisa': 19)

KDRT yang dialami isteri umumnya akan berimbas juga kepada anak-anaknya. Bisa suami melakukan kekerasan yang sama pada anak-anak, bisa juga isteri yang melampiaskan kekesalan, kemarahan, dan kebencian pada suami dilampiaskan kepada anak-anaknya. 

Kasus seperti ini banyak yang terjadi. Saya setiap hari menemukan berita kekerasan yang dialami isteri dan anak-anak di berbagai daerah akibat KDRT yang dilakukan suami. Jadi, ibarat peribahasa bagaikan bara dalam sekam. 

Kalau isteri diam saja, tidak bersuara, maka kekerasan ini dianggap hal lumrah dalam berumah tangga. Jika isteri tidak kuat lagi, isteri bisa saja gelap mata melalukan percobaan pembunuhan.

Bukan hanya itu. Isteri suatu saat lambat laun akan mengalami tekanan secara psikis. Depresi, hilang rasa percaya diri, mengalami gangguan kejiawaan, dan tidak sedikit yang bunuh diri agar masalah selesai. 

Begini deh. Misalnya, dalam perjalanan rumah tangganya terjadi masalah, lalu kekerasan fisik menimpa dirinya, apakah dia akan diam saja? Kalau sekali, mungkin masih bisa diam. Kalau terjadi berkali-kali? Apa iya dia akan menutup-nutupi?

Mengambil contoh ya jangan yang main pukul-pukul dong. Kan jadi ramai. Orang yang tadinya tidak suka jadi makin menyudutkan.

KDRT Tindak Kekerasan Serius

Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (dok humas Kemen PPPA)
Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (dok humas Kemen PPPA)

Menurut Undang--Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), ada beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Pertama, kekerasan fisik seperti menampar, memukul, menyiksa dengan alat bantu. Kedua, kekerasan psikis seperti menghina, melecehkan dengan kata-kata yang merendahkan martabat sebagai manusia, selingkuh.

Ketiga, kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban.

Keempat, penelantaran Rumah Tangga semisal akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban. 

Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menegaskan KDRT adalah tindak kekerasan yang serius. 

"Selama ini, kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga," tegasnya,  Kamis, 3 Februari 2022, menanggapi kasus tausyiah ustadzah yang viral itu.

Banyak kasus KDRT yang terjadi di lingkungan kita, namun para korban KDRT biasanya tidak mau  melaporkan dengan banyak alasan. 

Salah satunya, karena takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban atau mengganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar.

Ratna menuturkan KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. 

Kondisi ini bisa semakin diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Alasannya, KDRT adalah masalah domestik sehingga jika ada kejadian KDRT, orang lain tidak perlu campur tangan.

"Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya," tegasnya.

Maka, tidak heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak. 

Tidak hanya itu. Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru saat mereka dewasa. 

"Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga," jelasnya.

Indonesia sendiri memiliki Undang--Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan. 

UU PKDRT ini dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh UU sebelumnya. 

Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT mencakup bentuk--bentuk tindak pidana dan dalam proses beracara, antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk. 

Diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik dapat dihilangkan. 

UU PKDRT ini juga mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali (Pasal 15 UU PKDRT). 

Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata. Bahkan ini menjadi urusan negara karena telah diatur dalam UU PKDRT. 

KDRT juga bukanlah sebuah hal yang dapat dinormalisasi. Terlebih akhir cerita KDRT juga seringkali tidak seindah dongeng.  Dengan ditutupinya KDRT tidak jarang justru membuat pelaku semakin menjadi-jadi. 

Perlindungan pada perempuan dan anak adalah satu dari 5 isu prioritas arahan. Karena itu, KemenPPPA membutuhkan dukungan dan kerjasama dari semua pihak dalam upaya mencegah terjadinya KDRT.

Tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, publik figur, ataupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh dalam memberikan edukasi ke masyarakat. Tentu saja termasuk lembaga layanan dan masyarakat. 

Untuk itu, perempuan dan anak yang menjadi korban untuk tidak takut melapor. Begitu juga masyarakat yang melihat tindak KDRT di sekeliling mereka. 

Karena, dalam masyarakat dengan sistem patriarkhi, biasanya kaum perempuan dan anak adalah kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan di ranah domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Kemen PPPA memiliki Layanan SAPA 129 (021-129) dan hotline 081-111-129-129 sebagai layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia.

Tindak lanjut penanganan dilakukan melalui koordinasi dengan Dinas PPPA/UPTD PPPA di daerah seluruh Indonesia. Ada 6 layanan dasar yang dapat diberikan. Yaitu, pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. 

Mari bergerak bersama mencegah KDRT di sekeliling kita. Yuk, manfaatkan layanan ini dengan baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun