Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Reuni 212, Perlukah?

2 Desember 2021   10:43 Diperbarui: 2 Desember 2021   11:07 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, lima tahun lalu, tepatnya di hari Jumat, 2 Desember 2016, saya dan beberapa teman ikut "turun ke jalan" berbaur bersama massa lain. 

Hujan yang cukup deras membersamai aksi yang terpusat di Monas itu. Aksi Damai 212, begitu orang-orang menamainya, merujuk pada tanggal 2 bulan 12. 

Seusai shalat subuh, saya berangkat dari rumah. Sendiri, tanpa suami (belakangan suami saya menyusul). Beberapa teman saya malah menginap di hotel di sekitaran Monas biar tidak terjebak kemacetan.

Beberapa teman yang lain sudah menunggu di Stasiun Gondangdia. Ketika saya naik, kereta yang saya tumpangi dari Stasiun Citayam sudah disesaki penumpang.

Kereta dipenuhi oleh penumpang yang sebagian besar mengenakan "seragam" putih-putih. Semakin ke sana, semakin banyak "teman-teman seperjuangan" yang naik kereta.

Sudah bisa diduga, tanpa perlu bertanya, tujuan mereka sama. Pasti ikut aksi demonstrasi membela Islam. Ketika kereta berhenti di Stasiun Gondangdia, penumpang berhamburan ke luar. Termasuk saya. Seketika isi gerbong sepi.

Lautan manusia hampir memenuhi area Stasiun Gondangdia. Yang untuk berjalan pun agak susah. Pekikan "Allahu Akbar" dan senandung shalawat Nabi tiada henti-hentinya mengalir dari mulut-mulut para demonstran ini. 

Saya dan teman-teman berjalan kaki hingga ke Monas. Sementara jalan menuju Istana Merdeka diblokir oleh petugas. Kawat berduri terpasang rapi. Jalan utama di sekitar Thamrin juga dipenuhi lautan manusia yang berasal dari berbagai daerah.

Rizieq Shihab, Ustadz Arifin Ilham, dan Jenderal Polisi Tito Karnavian yang saat itu menjabat Kapolri ikut meramaikan aksi tersebut. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun turut bergabung dan melaksanakan salat Jumat bersama peserta aksi yang lain. Setelahnya hadir pula Amien Rais, Ahmad Dhani, Prabowo, 

Aksi itu sendiri dipicu oleh statemen Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam pidatonya, ia mengungkapkan ada sejumlah oknum yang memprovokasi masyarakat untuk tidak mendukungnya. 

Lalu, Ahok begitu sering ia disapa, mengutip Surat Al-Maidah ayat 51. Arti ayat itu berbunyi, "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin yang bagi sebagian mereka yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".

Bersama kawan-kawan di Stasiun Gondangdia (dokumen pribadi)
Bersama kawan-kawan di Stasiun Gondangdia (dokumen pribadi)

Berikut kutipan pidato Ahok tersebut, "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," sebagaimana dikutip kompas.com. 

Rekaman pidato dari pria kelahiran Belitung ini pun beredar luas dengan cepat di sosial media. Buntutnya Ahok dilaporkan ke pihak berwajib dengan tuduhan penistaan agama. 

Buntut kasus ini, lantas memicu aksi gelombang protes atas statemen Ahok. Ahok pun akhirnya di penjara setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan penistaan agama Islam.

Tahun-tahun berikutnya diadakan reuni 212, tapi saya dan kawan-kawan tidak ikut. Saya sendiri memutuskan tidak ikut karena "menilai" biarkanlah diwakilkan oleh yang lain. Lagi pula saya "merasa" sudah melenceng dari tujuan awal. 

Hari ini, Gerakan Alumni 212 berencana kembali menggelar reuni pada 2 Desember, meski banyak yang menilai powernya sudah tidak sekuat dulu lagi.

Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Novel Bamukmin, mengatakan, ada tiga tuntutan utama yang akan disuarakan dalam reuni kali ini: bebaskan Rizieq Shihab dari penjara, usut tuntas penembakan enam anggota laskar FPI, dan bebaskan para ulama yang baru-baru ini ditangkap.

Sebagaimana kita ketahui dari pemberitaan, Rizieq Shihab divonis hukuman penjara selama empat tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Mei 2021. Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

Ia juga dinilai terbukti melakukan penyiaran berita bohong dan menimbulkan keonaran dalam kasus tes usap di RS Ummi Bogor. 

Rizieq Shihab, salah satu tokoh sentral di gerakan 212, itu lantas mengajukan banding ke MA, dan masa hukumannya dikurangi menjadi dua tahun.

Para pendukung gerakan 212 mengklaim hukuman tersebut didasari motif politik. Termasuk penangkapan beberapa sosok ulama, salah satunya anggota Komisi Fatwa MUI, oleh Densus 88. Penangkapan ini sebagai bentuk "kriminalisasi" ulama.

Saya sendiri tidak tergerak untuk ikut reuni 212. Termasuk kawan-kawan saya sesama "alumni" gerakan 212. Beragam alasan.

Kalau pertimbangan pribadi saya, khawatir saja reuni 212  disusupi oleh kepentingan tertentu. Terlebih saat ini, suhu perpolitikan di Indonesia sedang hangat-hangatnya menjelang pemilihan presiden 2024. 

Aksi Damai 212 pada 2 Desember 2016 (dokumen pribadi)
Aksi Damai 212 pada 2 Desember 2016 (dokumen pribadi)

Apakah penilaian saya benar atau tidak, ya saya tidak tahu. Saya bukan pengamat politik, juga bukan politisi. Bukan juga pakar. Jadi, dugaan saya bisa jadi benar, bisa juga salah.  

Menurut pandangan saya sebagai orang awam, aksi reuni ini sangat berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan aktor-aktor politik pada Pemilu 2024. Disusupi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Lha, bisa jadi kan? 

Adalah fakta jika suatu organisasi, entah berlabel agama, nasional, atau sosial, menjadi incaran kepentingan-kepentingan tertentu yang tentu saja untuk tujuan-tujuan tertentu. 

Coba saja diperhatikan, aksi reuni 212 beberapa kali digelar pada waktu yang berdekatan dengan pemilihan umum. Yang cenderung mendukung atau menguntungkan calon tertentu.

Meski aksi reuni 212 mengklaim bukan sebagai gerakan politik, namun aromanya sangat politik. 

Sebut saja saat reuni pada 2018 yang dihadiri Prabowo Subianto. Saat itu, ia mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Dalam reuni tersebut disuarakan dukungan terhadap Prabowo. 

Lalu saat reuni 212 tahun 2019, ada pernyataan dukungan kepada Anies Baswedan untuk mencalonkan diri di pemilu 2024. Entah itu, dukungan pribadi atau atas nama PA 212.  

Novel Bamukmin sendiri  membantahnya. Katanya, itu lebih kepada pendapat pribadi, bukan mewakili PA 212. 

Sebagai "massa mengambang", potensi dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik, ya terbuka lebar. Terlebih, suara-suara umat Islam kerap diperebutkan untuk mendulang suara salah satu kontestan. 

Lantas, apakah perlu reuni 212 diadakan? Menurut saya, di tengah pandemi Covid-19, aksi yang memunculkan potensi kerumunan massa sebaiknya tidak perlu diadakan.

Reuni bisa saja diadakan tapi dialihkan dalam bentuk silaturahmi atau diskusi atau kegiatan lainnya yang lebih bermanfaat tanpa harus turun ke jalan. Terlebih saat ini Indonesia tengah dibayang-bayangi Covid-19 varian baru. 

Polda Metro Jaya hingga kini belum memberikan ijin, dan sudah menyatakan tidak memberikan izin penyelenggaraan Reuni 212. 

Karena itu, jika tetap memaksa penyelenggaraan Reuni 212 di kawasan Patung Kuda, Polda Metro Jaya bakal melakukan pemidanaan.

Meski demikian, aparat kepolisian sudah siap siaga berjaga-jaga di sejumlah titik untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun