Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mencari Jejak Wiji Thukul

31 Oktober 2021   18:44 Diperbarui: 1 November 2021   06:16 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

*Bait awal puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu, karya Wiji Thukul

Apakah generasi milenial mengenal siapa itu Wiji Thukul? Harusnya sih tahu ya mengingat mereka sangat akrab dengan dunia digital. Sekali sentuh dengan jari di layar gadget, segala informasi mengenai apa saja dan tentang siapa saja terbentang luas. 

Aktifis HAM dan juga aktifis buruh ini lahir pada 1963. Ia bernama asli Wiji Widodo. Nama Widodo diganti Thukul oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater milik penyair WS Rendra, yang berarti biji tumbuh.

Wiji sendiri memang dikenal sebagai seorang penulis puisi perjuangan. Puisi-puisi berisi kritikan. 

Sebagai buruh, Wiji bukan hanya bekerja tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan sesama kelas pekerja. Tidak heran puisi-puisinya penuh satire mengkritik rezim penguasa yang membungkam dan membuat rakyat menderita.

Ada satu kalimat yang sangat terkenal dalam bait terakhir dalam puisi karya yang berjudul Peringatan: "Hanya ada satu kata: Lawan!". 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan! 

Kata-kata yang hingga kini sering dikutip hingga sekarang, terutama oleh para aktifis.

Mirisnya, sampai detik ini keberadaan Wiji Thukul hilang tanpa jejak. Hilangnya Wiji Thukul ini tidak lepas dari peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan peristiwa "Kudatuli" singkatan dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. 

Pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, menuding Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang dipimpin Budiman Sudjamitko sebagai dalang di balik peristiwa itu.

Para aktivis PRD pun diburu, termasuk Wiji Thukul. Ketika itu, Wiji Thukul berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker -- badan yang merapat ke PRD. 

Wiji pun dinyatakan hilang, yang hingga sekarang entah di mana rimbanya. Ia adalah satu dari 12 orang hilang pada 1997-1998 menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Nasib Wiji Thukul bersama 12 aktivis lainnya belum diketahui hingga kini: hidup atau mati. Spekulasi menyebutkan ia memang sengaja dihilangkan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Lantas, apa kabarnya Wiji Thukul?

Sabtu (30/10/2021) kemarin, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) dan Barikade 98 berusaha mencari jejak Wiji Thukul dengan nobar alias nonton bersama film dokumenter berjudul "Nyanyian Akar Rumput", di sekterariat DPN Barikede 98, Jalan Cimandiri No, 7, Jakarta. 

Film dokumenter Nyanyian Akar Rumput ini meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik pada Festival Film Indonesia 2018. Film berdurasi 1 jam 52 menit itu juga menyabet beberapa penghargaan. Sebut saja pemenang NETPAC Award 2018, Piala Maya kategori Dokumenter Terpanjang Terpilih 2019, pemenang Honorable Mention Award dari Figueira Da Foz Int'l Film festival, Portugal pada 2019.

Film Nyanyian Akar Rumput sendiri bercerita tentang keluarga setelah ditinggal Wiji Thukul. Dengan fokus utama Fajar Merah, yakni anak sang penyair, juga keluarganya: Sipon, ibunya dan Fitri Nganti Wani, kakaknya.

Fajar dengan bandnya bernama Merah Bercerita mencoba melestarikan puisi-puisi Wiji Thukul, yang dituangkan ke dalam alunan nada, serta merekamnya dalam album. Fajar yang masih berusia lima tahun saat bapaknya dihilangkan merawat ingatan akan sosok bapaknya lewat musik.

Sang anak ingin orang-orang tidak lupa akan peran para aktivis yang dibungkam selama orde baru. Ia juga ingin menunjukkan puisi pernah dianggap sebagai momok yang menakutkan oleh penguasa.

Proses film ini terbilang cukup panjang. Butuh waktu sekitar empat tahun dari tahun 2014 hingga tahun 2018. Karena ini film dokumenter, maka sutradara film ini mengikuti betul kehidupan dan keseharian keluarga Wiji Thukul, terutama Fajar Merah. 

Para pemain di film ini yaitu Fajar Merah, Fitri Nganthi Wani, Siti Dyah Sujirah (Sipon), Gandhi Asta, Lintang Bumi, dan Yanuar Arifin.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

"Pembuatan film Nyanyian Akar Rumput ini untuk merawat ingatan generasi muda atas kasus penghilangan paksa Wiji Thukul. Film ini disajikan dengan gaya lebih popular, dan menjadi salah satu media yang relevan untuk menyampaikan informasi kepada generasi muda," terang Yuda Kuriawan, sang sutradara film tersebut, usai nobar.

Ketua Jaker, Tri Okta Sulfa Kimiawan, mengamini bahwa film ini mengajarkan pada generasi muda, di negeri ini pernah dipimpin oleh pemerintahan otoriter yang suka bertindak represif terhadap rakyat yang berani menentang penguasa. Untuk menumbangkan rezim otoriter butuh pengorbanan besar.  

"Nyawa rakyat menjadi taruhannya. Wiji Thukul salah satu korban dari tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintahan otoriter Orde Baru. Ini menjadi pelajaran kita bersama. Indonesia tidak boleh lagi dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter," tandasnya.

Film yang diproduksi Rekam Docs ini telah dirilis serentak di bioskop  pada 16 Januari 2020. Dengan ditayangkannya film ini di bioskop, mengubah pandangan masyarakat yang selama ini mengganggap film dokumenter sulit diputar di bioskop. Publik terlanjur beranggapan film dokumenter adalah film yang berat dan harus mikir. 

Kiprah Wiji Thukul juga difilmkan dengan judul 'Istirahatlah Kata-kata' garapan Yosep Anggi Noen. 

Usai menonton mengenai perjalanan Wiji Thukul, acara dilanjutkan dengan diskusi bertajuk "Mencari Jejak Wiji Thukul" Menghadirkan beberapa narasumber. Selain sang sutradara, ada Mangapul Silalahi (Pengurus DPN Barikade 98), Fenita Budiman (Jaringan Nakes Indonesia), Dewi Nova (Penyair), Jane Rosalina (Kontras) dan moderator Ernawati (Suluh Perempuan). 

Acara diskusi dimeriahkan dengan pembacaan puisi dari dua penyair nasional, yaitu Harris Priadie Bah dan Marlin Dinamikanto. 

Kegiatan ini, sebagai bentuk melawan lupa bahwa ada kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap atau memang sengaja dikuburkan? Dari kegiatan ini menuntut pemerintahan untuk melanjutkan penyelidikan terhadap para aktifis yang hilang, termasuk Wiji Thukul. 

Selama 25 tahun ini para aktifis yanh hilang itu belum juga tersibak jejaknya. Apakah ia masih hidup atau mati. Kalau masih hidup di manakah keberadaannya, kalau memang sudah tewas di manakah kuburnya?

"Dengan kegiatan ini diharapkan kekerasan yang dilakukan pemerintahan seperti zaman Orde Baru jangan sampai terulang kembali. Melalui film ini diharapkan generasi penerus bangsa yang kelak juga akan menjadi pemimpin negeri tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu, belajarlah pada masa lalu," tandas Faisyal, Wasekjen Barikade 98, aktifis kampus yang sealmamater dengan saya.

Meski Wiji Thukul hilang, tetapi semangat Wiji Thukul dalam bersuara tetap ada dan terjaga. Suaranya terus bergema di mana-mana. Puisi-puisinya terus disuarakan di mana-mana.

Sebagaimana kiprah Wiji Thukul, maka kita harus teruslah berjuang, jangan menjadi orang terbuang, meski terbelenggu dalam ruang, atau bahkan tidak punya uang, jangan hamburkan waktu luang, gunakan sebagai peluang, melalui puisi yang tertuang, perjuangan pun bagai jejak petualang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun