Sabtu (30/10/2021) pagi, jadwal saya belajar tahsin, yaitu cara membaca Alquran dengan baik dan benar sesuai tajwid. Kali ini, pembelajaran dilakukan secara online, bukan offline. Pembagian jadwalnya, 3 kali online, 1 kali offline.
Alhamdulillah...buku materi Mutqin "Panduan Mudah & Tepat Membaca Al-Qur'an" yang disusun Rumah Tajwid Indonesia, sudah saya tuntaskan hari ini. Itu berarti, belajar tahsin berikutnya bukan lagi memakai buku materi, tetapi Alquran.
Dalam pelajaran tahsin kali ini, saya mencatat tentang ragam hukum membaca Alquran yang masuk ke dalam kategori bacaan gharib. Gharib sendiri artinya tersembunyi atau samar atau sesuatu yang tidak dikenal, sesuatu yang aneh, sesuatu yang sulit dimengerti atau sulit dipahami.
Maka menjadi wajar, jika bacaan-bacaan yang ada di dalam gharib hanya bisa ditemukan satu contoh saja di dalam Alquran atau beberapa, tetapi sangat sedikit.
Itu sebabnya, bacaan gharib perlu penjelasan khusus karena pembahasannya yang samar. Meskipun tidak banyak buku tajwid yang membahas hukum ini, umat muslim sudah semestinya memahami hukum bacaan gharib.
Kata Ustadzah Zahra Faiza, guru tahsin yang mengajari kami, di dalam Alquran terdapat ayat yang cara membacanya tidak biasa. Bukan karena ada kesalahan atau mengada-ada, melainkan lebih kepada mengikuti bagaimana Rasulullah membaca Alquran.
Sebagaimana kita pahami dan yakini, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad. Karena itu, kita harus membaca Alquran sebagaimana Rasullullah membacanya.
Bacaan gharib ini sudah dimulai sejak turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW pertama kali yang disertai dengan pembacaan sempuna dari pembawanya, yaitu Malaikat Jibril.
Karena itu, kita harus mempelajari tata cara bacaannya agar tidak terjadi kesalahan dalam membaca ayat Alquran. Salah membaca berarti salah pula artinya, tidak pada semestinya.
"Tentang gharib ini, apa yang ada di dalam buku mutqin kita belajar sesuai dengan riwayat Al Hafsh dari 'Ashim jalur asy Syatibiyah. Di riwayat lain selain jalur asyatibiyah, boleh jadi berbeda cara membacanya. Ada yang berbeda ada yang sama. Saya menyampaikan sesuai riwayat yang saya pelajari," terangnya.
Disebutkan, bacaan-bacaan di dalam Alquran yang dianggap gharib antara lain Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal.
Imalah, yang artinya memiringkan atau condong. Menurut istilah, imalah diartikan memiringkan bacaan fathah ke arah bacaan kasrah. Berarti membaca fathah yang condong ke kasrah. Jadi, setengah kasrah dan setengah fathah, sehingga bunyinya menjadi "e".
Bacaan imalah ini ditandai dengan tulisan imalah kecil di atas atau bawah lafazh yang dibaca imalah.
Di dalam Alquran, bacaan Imalah ini hanya ada satu, yaitu pada surat Hud ayat 41. Selainnya tidak ada. Pada pertengahan ayat tersebut, terdapat lafadz "majroohaa" yang dibaca menjadi "majerehaa".
Pada dasarnya, setiap alif yang berharakat fathah dibaca "a". Namun, khusus pada lafadz "majroohaa" dibaca e sehingga bunyinya menjadi "majreehaa".
Isymam, yang dalam arti bahasa berarti monyong. Bacaan isymam terjadi pada huruf nun yang bertasydid, terdiri dari gabungan dari 2 huruf nun dan berdampingan satu sama lain.
Cara membacanya dengan mencampurkan bacaan dammah dengan bacaan sukun disertai dengan gerakan mulut yang dimajukan atau monyong seperti saat mengucapkan huruf "u".
Untuk memudahkan, bacaan yang dibaca dengan Isymam ditandai dengan tulisan isymam kecil yang berada di atas atau bawah lafadh yang dibaca isymam.
Bacaan Isymam ini ada satu dalam Alquran, yaitu pada surat Yusuf ayat 11. Di dalamnya terdapat lafadz "laa ta'manna", namun karena lafadz aslinya adalah "laa ta'manuna" maka lafadz 'nu' tidak perlu dibaca tapi diisyaratkan dengan memajukan mulut.
Saktah, yang berarti diam atau tidak bergerak atau berhenti sejenak sebelum lanjut ke bacaan berikutnya. Namun, saat berhenti tidak boleh mengambil napas.
"Tentang saktah, saktah berarti berhenti sejenak tanpa mengambil nafas dalam tempo yang orang tidak mungkin mengambil nafas. Tidak terlalu singkat dan tidak lama," terang ustadzah.
Untuk perkiraannya seberapa, tidak ada hitungan pastinya berapa harakat. Karena itu, untuk memperkirakannya seberapa lama, kita mengambil contoh dari guru kita.
"Ilustrasinya kalau saya ingin mampir ke rumah bu Tety, supaya nggak sempat disuguhi minum, saya nggak ingin lama-lama. Sebentar saja," ujarnya.
Seperti itulah saktah. Waktunya kita perkirakan yang kalau kita berhenti, tidak ada waktu untuk menarik nafas. Berbeda dengan tanda waqaf lain. Seperti mim atau shila. Dengan berhenti dan menarik nafas.
Bacaan saktah ditandai dengan tulisan saktah kecil atau huruf sin kecil di atas bacaan yang dibaca secara Saktah.
Beberapa ayat dalam Alquran ada yang wajib saktah dan ada yang tidak. Yang tidak, kita bisa memilih mau pakai saktah atau tanda waqaf yang lain.
Ada 4 lafadz Saktah yang ada di dalam Alquran, yaitu dalam surat Al-Kahfi di akhir ayat 1, surat Yasin ayat 52, surat Al-Qiyamah ayat 27, dan surat Al-Muthaffifin ayat 14.
Di akhir ayat 1 surat Al-Kahfi, terdapat lafadz "'i wajaa" yang kemudian di sambung oleh ayat berikutnya. Setelah membaca bacaan di akhir ayat 1 pada surat Al-Kahfi, kita perlu berhenti sejenak tanpa mengambil napas dan langsung melanjutkan ke ayat kedua.
Pada surat Yaasiin ayat 52, di pertengahan ayat terdapat lafadz "qodi naa haadzaa". Di antara lafadz "qodi naa" dan "haadzaa", kita perlu berhenti sejenak tanpa mengambil napas, kemudian melanjutkan bacaannya.
Tashiil, artinya kemudahan atau keringanan. Ditandai dengan 2 hamzah yang saling berurutan. Hamzah yang pertama dibaca tahqiiq seperti hamzah pada umumnya. Sedangkan hamzah yang kedua dibaca tashil.
Bacaan Tashiil ini bisa dilihat pada surat Fusshilat ayat 44. Pada pertengahan ayat terdapat lafadz "a a' jamiyyun".
Karena adanya dua hamzah qatha' yang berurutan dalam satu bacaan, maka hal itu menyulitkan orang Arab dalam membacanya.
Maka dari itu, bacaan tersebut ditashilkan dengan menyambungkan dua hamzah qatha' sehingga bacaannya menjadi "aa'jamiyyun".
Naql, artinya memindah. Menurut istilah Naql artinya memindahkan harakat ke huruf sebelumnya.
Di dalam Alquran hanya ada satu bacaan Naql, yaitu pada surat Al-Hujurat ayat 11. Pada pertengahan ayat, terdapat dua hamzah yang tidak dibaca (washal), yaitu hamzah al-ta'rif dan hamzah ismu yang mengapit lam.
Kedua hamzah washal tersebut tidak dibaca ketika disambungkan dengan lafadz sebelumnya. Jadi, bacaannya bukan "bi'sal ismu" tetapi menjadi "bi'salismu".
Badal, berarti mengubah. Secara istilah berarti mengubah atau mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah yang lain.
Bacaan badal ini hanya ada beberapa yaitu:
Pertama, lafadz “ii’tuunii” hanya terdapat pada Surat Al-Ahqaf (46) ayat 4. Cara membacanya yaitu jika diwaqafkan pada lafadz “as-samawat”, maka dibaca “ii’tuunii”, bila diwashalkan maka tetap dibaca sama seperti tulisan pada kalimatnya “fis samawati’ tuunii”.
Kedua, lafadz “yabsuthu” pada Surat Al-Baqarah ayat 245; ketiga, lafadz “bashthoh” pada surat Al-A’raf (7) ayat 69; keempat lafadz "al mushoiithiruun" pada surat At-Thur (52) ayat 37.
Cara membaca lafadz-lafadz tersebut jika di atas huruf shood terdapat huruf siin kecil, berarti huruf tersebut dibaca siin. Jika di bawah huruf shod terdapat huruf siin kecil, berarti huruf tersebut dibaca shood.
Alasan penggantian shood dengan siin karena mengembalikan pada asal lafadznya.
Demikian catatan saya. Semoga bermanfaat.
Wallahu 'alam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H