Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perilaku Merokok Memprihatikan, Pakar: Naikkan Harga Rokok!

13 Oktober 2021   08:40 Diperbarui: 13 Oktober 2021   09:18 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miskin tapi kok merokok?

Kalau dipikir-pikir sebenarnya bisa kok masyarakat yang berada di garis kemiskinan tidak lagi miskin. Tidak ada kelaparan, tidak ada angka putus sekolah, tidak ada kekurangan gizi dengan alasan himpitan ekonomi.

Bagaimana caranya? Kita minta saja para perokok aktif -- yang juga sebagian besar adalah mereka dengan penghasilan pas-pasan, untuk mengalihkan uang yang dialokasikan untuk membeli rokok ke  kebutuhan gizi keluarga atau menabung?

Jika ini dilakukan berapa banyak keluarga akan semakin sejahtera? Pertanyaannya, apakah mereka mau? Karena faktanya, di saat pandemi Covid-19 melanda, dan orang-orang banyak terdampak secara ekonomi, lha kok untuk membeli rokok masih bisa. 

"Hebatnya", mereka memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok. Aneh, kan? Menurut saya sih ya aneh. Lha teriak-teriak tidak punya uang untuk beli sembako, tapi untuk beli rokok, ya ada saja uangnya.

Ternyata, ada pandemi Covid-19 atau tidak, perilaku untuk tetap merokok tidak berubah. Baik dari sisi kuantitas maupun intensitas merokok, termasuk mereka yang berpendapatan rendah itu. 

Setidaknya begitu hasil temuan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT). Lembaga itu membeberkan hasil survey yang dilakukan pada 2020. Dan, hasilnya ya cukup mencengangkan!

Dalam diskusi virtual mengenai "Perilaku Merokok Selama Pandemi COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga", yang diadakan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komnas PT membeberkan hasil temuannya itu. 

Dicatat ya. Sebanyak 49,8 persen responden yang merokok mengaku memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok selama pandemi Covid-19. Sebanyak 13,1 persen responden perokok bahkan mengaku pengeluaran untuk membeli rokok meningkat. 

Mayoritas dari mereka, yaitu 77,14 persen, dengan penghasilan kurang dari Rp5 juta. Ironisnya, mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 2 juta juga punya pengeluaran tetap untuk membeli rokok. Angkanya, mencapai 9,8 persen. Sisanya yang 17,8 persen berpenghasilan Rp2 juta hingga Rp5 juta.

Hasil survey itu juga menunjukkan sebanyak 50,2% perokok mengaku jumlah batang rokok yang dikonsumsi selama pandemi Covid-19 tetap. Mirisnya, sebanyak 15,2% responden mengaku jumlah batang rokok yang dikonsumsi meningkat.

Bagaimana saya tidak geleng-geleng kepala?

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
"Kami khawatir dengan konsumsi rokok masyarakat saat ini. Tingginya risiko terkena Covid-19 akibat merokok dan dampaknya terhadap ekonomi rumah tangga tidak membuat para perokok mengurangi konsumsinya," tandas Manik Marganamahendra, perwakilan Komnas PT.

Studi ini kembali menegaskan perilaku merokok menyebabkan tercemarnya kualitas udara di lingkungan rumah dan membahayakan kesehatan anggota keluarga lainnya. 

Lantas berapa banyak uang yang dibakar dalam sehari untuk rokok? Anggap saja pengeluaran untuk rokok satu tahun sebesar Rp4.500.000. Jika merokok sudah dilakukan dari usia 17 tahun, dan sampai umur 30 tahun masih merokok, berapa banyak uang yang bisa ditabung? 

Selama 13 tahun itu, uang yang terkumpul bisa mencapai Rp58.500.000. Lumayan, bukan? Uang sebesar ini bisa untuk membeli rumah subsidi. Coba kalau dibelikan telur, beras, susu. Berapa banyak yang didapatkan? Bisa juga dipakai buat biaya pendidikan anak-anak. 

Jadi, logikanya tidak ada alasan hidup terpuruk karena faktor ekonomi. Karena nyatanya, buat beli rokok saja sanggup. Hampir bisa dipastikan pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain. 

Coba saja perhatikan tukang becak, pengemudi ojek, pemulung, pedagang keliling, pengemis, dan lain-lain, mengaku miskin tapi masih sanggup beli rokok? 

Di depan kompleks rumah saya saja, ada sekitar 3 pengemis yang mangkal menengadahkan tangan. Ada yang dekat minimarket, ada juga yang dekat abang gerobak sayur, ada yang dekat penjual buah. 

Ada satu pengemis yang saya perhatikan dalam keadaan merokok. Hello...?! Bagaimana saya mau berempati coba? Kalau saya kasih uang bisa-bisa uangnya dipakai membeli rokok. 

Apakah terpikirkan jika uang untuk membeli rokok lebih bermanfaat dibelikan telur atau lainnya?

Dalam diskusi itu, Irfani Fithria Ummul Muzayanah, Ph.D. (Tim Riset PKJS-UI), menyampaikan, harga rokok yang murah dan terjangkau menjadi salah satu faktor tingginya konsumsi rokok di Indonesia. 

Jika harga rokok dinaikkan diyakini akan mengurangi keterjangkauan masyarakat dalam membeli rokok.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Harga rokok di Indonesia dinilai sangat murah dibandingkan dengan negara lain. Saking murahnya, pelajar atau anak-anak yang sama sekali tidak memiliki penghasilan bisa membeli rokok secara batangan atau ketengan. 

Padahal, di luar negeri, untuk membeli rokok harus menunjukkan KTP. Mereka yang tidak memiliki KTP atau anak di bawah umur tidak akan dilayani. Jika ini dilakukan penjual akan dipidana.

Tidak heran, prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan drg. Kartini Rustandi, menyampaikan, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan angka perokok anak meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018.

Padahal, efek merokok sangat berbahaya. WHO (2020) memperkirakan setiap tahunnya sekitar 225.700 jiwa melayang akibat konsumsi rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan merokok. 

Dari studi ini terlihat bagaimana konsumsi rokok tidak berbeda dari sebelum dan setelah pandemi, bahkan beralih ke harga yang lebih murah. 

Risiko terkena Covid-19 bagi perokok nyatanya tidak membuat para perokok mengurangi konsumsi rokoknya di masa pandemi Covid-19.

Data ini bisa memperkuat inisiatif melakukan revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mencegah perokok anak, dan mendukung roadmap cukai hasil tembakau. 

Selain itu, upaya kampanye pengendalian tembakau juga harus diperkuat, dan edukasi dilakukan secara masif.

Para pakar kesehatan mengingatkan kebiasaan merokok berisiko meningkatkan keparahan kesakitan karena Covid-19. Belum lagi penyakit-penyakit lainnya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena, dalam kesempatan yang sama, menyatakan anak-anak harus dicegah agar tidak menjadi kelompok baru atau cluster baru yang kemudian meneruskan perilaku merokok ini. 

Mudahnya akses terhadap rokok, perlu dibatasi. Industri rokok tidak boleh mengkampanyekan rokok kepada anak. Harus ada penegakan hukum yang tegas kepada penjual apabila menjual rokok terhadap anak-anak. 

Emanuel menyampaikan aspek kesehatan harus diutamakan, cukai juga harus diatur untuk rokok, dan pemerintah harus mencari cara untuk mereka yang selama ini bekerja di industri tembakau untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Perlu juga langkah bersama antara Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan DPR RI untuk mendukung revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 mengenai pelarangan penjualan rokok secara batangan (ketengan).

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perdagangan juga perlu didorong untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan penjualan secara ketengan tersebut. 

Ketua PKJS-UI, Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D. menambahkan dampak dari kebiasaan merokok pasangan, ditambah lagi pandemi Covid-19 membuat istri menanggung beban tiga kali lipat lebih berat atau "Triple Burden". 

Pertama, menjadi kelompok rentan. Kedua, menanggung dampak akibat pandemi Covid-19. Ketiga, berisiko terpapar asap rokok lebih sering dan menjadi perokok pasif dengan lebih seringnya suami merokok di rumah. 

Kebiasaan merokok suami berpengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan keluarganya, baik istri, anak-anak maupun anggota keluarga lain yang tinggal serumah. 

"Karena itu, prevelensi perokok harus segera dikendalikan dan membutuhkan kerja sama antara kementerian atau lembaga dalam implementasi kebijakan pengendaliannya," tutup Aryana Satrya.

Dalam diskusi ini juga menghadirkan Analis Kebijakan Ahli Muda, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sarno, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungkas Bahjuri Ali, serta Peneliti dari PKJS-UI, Dr. Renny Nurhasana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun