Dalam diskusi itu, Irfani Fithria Ummul Muzayanah, Ph.D. (Tim Riset PKJS-UI), menyampaikan, harga rokok yang murah dan terjangkau menjadi salah satu faktor tingginya konsumsi rokok di Indonesia.Â
Jika harga rokok dinaikkan diyakini akan mengurangi keterjangkauan masyarakat dalam membeli rokok.
Harga rokok di Indonesia dinilai sangat murah dibandingkan dengan negara lain. Saking murahnya, pelajar atau anak-anak yang sama sekali tidak memiliki penghasilan bisa membeli rokok secara batangan atau ketengan.Â
Padahal, di luar negeri, untuk membeli rokok harus menunjukkan KTP. Mereka yang tidak memiliki KTP atau anak di bawah umur tidak akan dilayani. Jika ini dilakukan penjual akan dipidana.
Tidak heran, prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak-anak menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan drg. Kartini Rustandi, menyampaikan, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan angka perokok anak meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018.
Padahal, efek merokok sangat berbahaya. WHO (2020) memperkirakan setiap tahunnya sekitar 225.700 jiwa melayang akibat konsumsi rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan merokok.Â
Dari studi ini terlihat bagaimana konsumsi rokok tidak berbeda dari sebelum dan setelah pandemi, bahkan beralih ke harga yang lebih murah.Â
Risiko terkena Covid-19 bagi perokok nyatanya tidak membuat para perokok mengurangi konsumsi rokoknya di masa pandemi Covid-19.
Data ini bisa memperkuat inisiatif melakukan revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mencegah perokok anak, dan mendukung roadmap cukai hasil tembakau.Â
Selain itu, upaya kampanye pengendalian tembakau juga harus diperkuat, dan edukasi dilakukan secara masif.
Para pakar kesehatan mengingatkan kebiasaan merokok berisiko meningkatkan keparahan kesakitan karena Covid-19. Belum lagi penyakit-penyakit lainnya.