Senin (4/10/2021), sekolah di Kota Depok, Jawa Barat, mulai menerapkan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT). Pembagian jadwal sekolah sudah dibagikan wali murid ke group. Ada yang menerapkan sistem genap ganjil, ada juga dengan membagi dua shif sesuai nomor urut absensi.
Anak saya yang SD mendapat jadwal pada Selasa dan Kamis pagi, sementara anak saya yang SMP mendapat jadwal pada Jumat dan Sabtu siang. Jadwal ini tidak tetap, yang dalam setiap pekannya bisa berubah.Â
Adapun anak saya yang SMA sepertinya masih belajar dari rumah. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai PTMT di group orangtua. Mungkin seperti yang disampaikan sebelumnya, PTMT akan diterapkan paling lambat November ini.
Sebagaimana kebiasaan kalau memasuki tahun ajaran baru, masyarakat pasti ramai membeli seragam sekolah dan kawan-kawannya seperti tas, buku, sepatu. Termasuk saya. Tujuannya sih biar anak saya semangat bersekolah.Â
Menjelang PTM terbatas, anak kedua dan ketiga berulang kali mengingatkan saya untuk membeli seragam baru mengingat seragam lama sudah sempit. Ya mau tidak mau, saya harus beli dong. Terlebih selama pandemi Covid-19, belum sekalipun beli seragam.
Jadilah Minggu (3/10/2021) siang tadi saya dan bersama dua anak saya ke Pasar Tradisional Citayam. Tidak begitu jauh dari kompleks perumahan yang saya tinggali, dan cukup dekat dari Stasiun Citayam.
Kami ke sana naik angkot. Ternyata suasana pasar cukup ramai. Setidaknya terlihat dari banyaknya motor yang terparkir di halaman pasar. Mungkin karena PPKM yang diperlonggar, jadi aktifitas pasar seperti normal.Â
Namun, di sini tidak ada petugas yang memeriksa pengunjung untuk menunjukkan sertifikat vaksin seperti halnya jika ke mall atau gerai makanan. Kalau ke mall jika belum vaksin, ya tidak diperkenankan masuk.Â
Saya lantas ke lantai dua, ke toko seragam yang biasa saya sambangi. Di sini, terlihat ramai. Sebagian besar para ibu bersama anaknya. Suara riuh saling bersahutan bertanya kepada pelayan.
Sejumlah pegawai terlihat kewalahan melayani pembeli. Tidak sedikit orangtua yang harus mengantre terlebih dahulu untuk bisa membeli seragam sekolah anaknya. Mayoritas pembeli mencari seragam untuk jenjang SD hingga SMP.
"Cari apa bu?" tanya pegawai toko.
"Mbak, atasan ukuran anak saya ada nggak?" tanya saya seraya menunjuk anak kedua saya.Â
Ia lalu memberikan seragam berukuran nomor 15. Setelah dicoba dan pas di tubuh, saya pun membayar seharga 65.000. Soal harga, katanya, masih menggunakan harga lama. Ramainya pembeli tidak lantas digunakan untuk menaikan harga.
Anak saya minta dibelikan rok biru juga, tapi saya bilang tanggung karena sebentar lagi lepas SMP.Â
Sepertinya, adanya PTMT membuat pasar kembali bergeliat. Antusiasme orangtua dan siswa menyambut kegiatan belajar di sekolah diakui atau tidak turut berdampak pada aktifitas pasar.Â
"Hari ini dari pagi sudah ramai. Alhamdulillah. Ya mungkin karena mau masuk sekolah kali yah. Sebelum-sebelumnya sih enggak kaya gini, karena pandemi juga kan," kata pegawai tersebut ketika saya tanya sejak kapan ini mulai ramai.
Dewi Syafrianis, tetangga jauh saya (tinggal di kompleks yang sama), yang saya temui di tempat yang sama, termasuk yang antusias. Ia beralasan membeli seragam baru untuk anak bungsunya yang SD karena besok sudah masuk sekolah.
Ia sangat mendukung PTM terbatas. Seperti halnya anak-anak yang lain, anaknya juga sudah bosan belajar di rumah. Lagi pula tidak efektif.Â
"Sarah semangat banget sekolah tatap muka. Biasanya Zoom. Sekarang senang bisa ketemu guru dan teman-teman," katanya.Â
Saya lantas beralih ke toko sepatu dan toko tas. Anak ketiga saya ingin dibelikan tas dan sepatu baru. Sepatu lama yang dibeli pada akhir tahun sudah terasa sempit, katanya.
Di sini, saya temui suasana toko juga ramai. Pemilik toko, pasangan suami isteri yang bernama Rafly dan Ida, mengaku baru ramai ya menjelang PTM terbatas ini. Sebelumnya sepi.
"Baru ramai karena sudah pada mau sekolah. Kemarin-kemarin mah sepi banget. Kan sudah banyak yang vaksin juga," kata Rafly yang telah berjualan di pasar ini selama 21 tahun.Â
Selama dua tahun masa pandemi, membuat keduanya tidak berani membeli barang baru untuk dijual. Lagi pula, pabrik dalam negeri banyak yang setop produksi. Yang bisa dilakukan ya dengan menghabiskan stok yang tersisa.Â
Sementara itu, barang-barang yang dijual saat ini, menurut pengakuannya, adalah produk-produk impor. Harganya juga jauh lebih murah daripada mendapatkannya di dalam negeri.
"Lagi pula bahan bakunya juga harus import, jadi ya mending sekalian import aja," kata Ida yang mengaku produk tas yang dijualnya model Korea yang lagi tren.
Ia bersyukur pelaksanaan PTM bisa kembali digelar, meski dengan kondisi terbatas. Kebijakan tersebut sangat dinantikan para pedagang seperti dirinya.
Setelah dilihat-lihat, si kecil akhirnya memilih tas yang menurut saya bagus juga modelnya. Lalu lanjut memilih sepatu untuk dua anak saya ini.Â
Selesai, lanjut beli jilbab. Yang jual bapak-bapak tua. Rambutnya sudah memutih semua. Berjualan di lapaknya yang sederhana, yang beratapkan terpal. Siang saat itu cukup terik. Jangan harap ada pendingin ruangan. Namanya juga di pasar, tradisional lagi.
Bapak tua ini mengaku, sejak adanya rencana pelaksanaan PTM terbatas, lapaknya selalu ramai dikunjungi pembeli setiap harinya. Terutama jilbab untuk pelajar, baik jilbab yang langsung jadi maupun yang segi empat.
Saya tidak bertanya harga per itemnya. Yang jelas, dua jilbab si kecil dan tiga jilbab segi empat untuk anak kedua saya, semua 150.000. Tidak ada proses tawar menawar. Saya tidak terbiasa menawar. Masa harus ditawar? Belanja di mall saja kita langsung bayar. Tidak ada tuh tawar menawar. Iya, kan? hehehe...
Dua anak saya ini mah memang mirip saya kalau belanja di mana saja ok. Tidak terkecuali di pasar tradisional. Tidak melihat merk juga. Selama itu yang dibutuhkan dan disukainya, ya tidak masalah. Nah, kalau anak pertama saya ya agak beda dikit hehehe...
Saya perhatikan, abang penjual buku tulis juga ramai dikerubuti pembeli. Pedagang kaos kaki pun demikian. Tidak terkecuali mbak pedagang masker. Terlihat ada denyut kehidupan.Â
Ternyata pelaksanaan PTM terbatas ini membawa keberkahaan tersendiri. Tidak saja buat para orang tua dan siswa, tetapi juga para pedagang yang berkaitan dengan keperluan sekolah.Â
Semoga pelaksanaan PTM terbatas ini berjalan sesuai harapan agar semua orang bisa melihat "Indahnya dunia".Â
Tuntas dengan segala urusan di pasar, kami pun pulang, tetap dengan menggunakan angkot.
Demikian laporan pandangan mata saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H