Penanganan jenazah pasien Covid-19 harus melalui prosedur ketat di rumah sakit rujukan. Saat pemakaman pun dilakukan dengan protokol kesehatan Covid-19. Ini sesuai standar yang diatur dalam Protokol Penanganan Jenazah Pasien Covid-19 Badan Kesehatan Dunia (WHO).Â
Berdasarkan apa yang saya baca di sini, ada banyak pertimbangan mengapa jenazah Covid-19 harus diurus dengan protokol kesehatan ketat.Â
Alasan utamanya karena Covid-19 menular lewat berbagai cara, mulai dari droplet, aerosol, muntahan, feses, serta kontak langsung dengan benda yang terkontaminasi.
Selain itu, Covid-19 masih mungkin menular melalui udara (airborne). Itu artinya, virus bisa ditemukan di benda mati hingga beberapa jam.
Virus juga bisa ditemukan di jenasah hingga 9 hari postmortem (sesudah kematian). Jadi, ada kekhawatiran dapat menular dari jenazah ke manusia yang masih hidup.
Lantas, bagaimana prosedur penanganan jenazah Covid-19?
Ketika saya, suami, ayah, dan 2 abang saya tiba di kamar jenazah RS DR. Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan, kami diharuskan memakai sarung tangan. Petugas memberikan kami masing-masing sarung tangan karet.
Disampaikan pihak keluarga boleh melihat jenazah untuk terakhir kalinya dari jarak 1-2 meter. Jenazah tidak boleh disentuh atau dicium demi mematuhi kewaspadaan standar.
Kami dapati jenazah ibu sudah di dalam peti. Ketika peti itu dibuka oleh petugas, kami dapati ibu terbungkus kantong jenazah. Saat kantong jenazah dibuka, ibu saya sudah dikafani.
Posisi jenazah ibu menghadap ke kanan. Posisi ini kemudian diketengahkan oleh petugas agar kami bisa melihat wajah ibu, juga agar kami bisa mengadzankan dan mendoakannya. Kain kafan di bagian wajah dibuka.
Saya tidak tahu apakah jenazah ibu saya dimandikan? Saya tanya kepada dua adik saya yang ada di RS saat ibu wafat, mereka mengaku tidak tahu. Ketika ke kamar jenazah, ibu sudah ada di dalam peti, begitu katanya.
Kalau logika saya sih bilang dimandikan tapi tidak seperti memandikan jenazah pasien non Covid-19. Ini terlihat dari jenazah yang sudah dikafani.Â
Selain itu, juga terlihat dari posisi peti jenazah yang dekat dengan tempat pemandian mayat. Saya perhatikan di atas ada beberapa shower berukuran kecil.
Saya mencoba menelusurinya di mui.or.id. Dalam situs resmi Majelis Ulama Indonesia itu diterbitkan tata cara umum mengurus jenazah (Tajhiz Janaiz) pasien virus SARS COV-2, mulai dari cara memandikan hingga menguburkannya.
Disebutkan jenazah yang beragama Islam boleh dimandikan dan dikafani sesuai dengan Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020. Hal ini tertuang lewat Ketentuan Hukum poin 2.Â
Bunyinya begini, "Umat Islam yang wafat karena wabah Covid-19 dalam pandangan syara' termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis."
Dimandikan di sini, berdasarkan Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020, tidak seperti memandikan jenazah pada umumnya. Jenazah bisa dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya.Â
Petugas juga wajib berjenis kelamin sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani. Jika tidak ada, maka diurus oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian saat dimandikan atau ditayamumkan.Â
Sebelum dimandikan, najis harus dibersihkan. Memandikan jenazah dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh.
"Jenazah terpapar covid-19 ini tergolong syahid akhirah, yakni syahid yang Allah SWT memberikan surga di akhirat tapi dalam kehidupan dunianya hak-hak pengurusan jenazahnya harus tetap ditunaikan," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Asrorun Ni'am Sholeh, dalam laman resmi MUI tersebut.
Baca juga:
Sepenggal Kisah Akhir Perjuangan Ibu Saya Melawan Covid-19
Fix, insyaallah sebagai jenazah, ibu saya mendapatkan haknya untuk dimandikan. Sepertinya tidak perlu lagi dipertanyakan.
Usai kami menuntaskan doa-doa, petugas kembali merapikan jenazah ibu saya. Mengembalikan ke posisi semula, lalu menarik resleting kantong jenazah.Â
Saya melihat kantong jenazah ibu saya disemprot cairan disinfektan. Kemudian peti mayat ditutup dan dipaku. Setelah itu, dilapisi dengan plastik wrapping. Tujuannya, agar tidak ada cairan yang keluar dari jenazah.Â
Tidak lupa, oleh petugas peti mati diberi identitas jenazah agar tidak tertukar. Peti mati juga kembali disemprot dengan cairan disinfektan.
Peti jenazah lantas dihadapkan ke arah kiblat. Setelah berwudhu, kami pun shalat jenazah dengan imam abang saya yang kedua.
Usai shalat jenazah, kami pun berkoordinasi dengan pihak keluarga ibu saya di Cigereji, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Pihak keluarga menyampaikan penggalian makam kemungkinan selesai pukul 8 pagi.
Pihak RS juga sudah berkoodinasi dengan Satgas Covid-19 wilayah Cibadak. Jadi, ketika ambulans tiba di sana, jenazah akan diambil alih oleh pihak Satgas Covid-19.Â
Kami pun istirahat sejenak di RS DR. Suyoto. Agak ngeri-ngeri sedap juga mengingat ini adalah RS Rujukan Covid-19. Saya merasa tengah berada di medan perang tapi musuhnya tidak tampak oleh mata. Terlebih ada ayah saya yang lansia.Â
Menjelang subuh, kami jalan duluan, sementara ambulans menyusul belakangan. Pukul 8 lewat ambulans yang membawa jenazah ibu saya tiba. Jenazah kemudian diserahterimakan ke pihak Satgas Covid-19 yang berpakaian lengkap APD. Â
Pihak Satgaslah yang mengangkat peti mayat dan menguburkannya. Sebelum ditimbun tanah, adik ibu atau paman saya membacakan adzan. Liang kubur juga disemprot cairan disinfektan. Baru kemudian ditimbun dengan tanah.
Demikian proses penanganan jenazah ibu saya. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan dimudahkan.
Kami setidaknya merasa lega bisa melihat wajah ibu yang terakhir kali hingga ke liang lahat di pemakaman. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.Â
Syukurlah, proses pemakaman ibu saya tidak harus diwarnai protes warga sebagaimana yang pernah dialami sebagian orang seperti yang saya baca di berita. Warga menerimanya mengingat ibu saya dilahirkan dan dibesarkan di sini.
Saya merasa pemakaman ini begitu sunyi. Tidak dihadiri oleh kerabat dan tetangga, sebagaimana lazimnya. Hanya keluarga inti dan adik-adik ibu saya.Â
Dengan pihak keluarga ibu, kami pun berjarak, memakai masker, dan tidak berjabat tangan. Bahkan tidak mampir untuk sekedar beristirahat dan bersilaturahm. Â
Saya sudah mengingatkan keluarga saya untuk langsung pulang setelah proses pemakaman usai. Khawatir akan memunculkan klaster baru. Terlebih kami terakhir berada di RS Rujukan Covid-19.
Yang membuat saya sedih, saya tidak bisa memandikan jenazah ibu saya sebagaimana permintaannya. Permintaan itu muncul setelah saya mengikuti tata cara pengurusan jenazah di masjid kompleks rumah saya.
"Mung mamah maot, Neneng nya' nu mandiin mamah," katanya melalui pesan WA setelah membaca tulisan saya mengenai tatacara pengurusan jenazah, yang saya jawab "insyaalah"
Maafkan saya, Enin, permintaan Enin tidak bisa saya penuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H