Pihak Satgaslah yang mengangkat peti mayat dan menguburkannya. Sebelum ditimbun tanah, adik ibu atau paman saya membacakan adzan. Liang kubur juga disemprot cairan disinfektan. Baru kemudian ditimbun dengan tanah.
Demikian proses penanganan jenazah ibu saya. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan dimudahkan.
Kami setidaknya merasa lega bisa melihat wajah ibu yang terakhir kali hingga ke liang lahat di pemakaman. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.Â
Syukurlah, proses pemakaman ibu saya tidak harus diwarnai protes warga sebagaimana yang pernah dialami sebagian orang seperti yang saya baca di berita. Warga menerimanya mengingat ibu saya dilahirkan dan dibesarkan di sini.
Saya merasa pemakaman ini begitu sunyi. Tidak dihadiri oleh kerabat dan tetangga, sebagaimana lazimnya. Hanya keluarga inti dan adik-adik ibu saya.Â
Dengan pihak keluarga ibu, kami pun berjarak, memakai masker, dan tidak berjabat tangan. Bahkan tidak mampir untuk sekedar beristirahat dan bersilaturahm. Â
Saya sudah mengingatkan keluarga saya untuk langsung pulang setelah proses pemakaman usai. Khawatir akan memunculkan klaster baru. Terlebih kami terakhir berada di RS Rujukan Covid-19.
Yang membuat saya sedih, saya tidak bisa memandikan jenazah ibu saya sebagaimana permintaannya. Permintaan itu muncul setelah saya mengikuti tata cara pengurusan jenazah di masjid kompleks rumah saya.
"Mung mamah maot, Neneng nya' nu mandiin mamah," katanya melalui pesan WA setelah membaca tulisan saya mengenai tatacara pengurusan jenazah, yang saya jawab "insyaalah"
Maafkan saya, Enin, permintaan Enin tidak bisa saya penuhi.