Ibu saya positif Covid-19. Itu berdasarkan foto thorax yang paru-parunya terlihat putih semua dan hasil test PCR yang menyatakan positif. Saat ini, ibu saya masih di ruang isolasi RS Jantung Diagram Siloam Cinere, Depok.
Ini hari keempat ibu saya di ruang isolasi. Sesungguhnya ibu saya harus segera dipindahkan ke ruang ICU. Selain karena faktor usia dan komorbid -- jantung, diabetes, dan hipertensi, juga kadar saturasinya tidak stabil. Naik turun.
Mengapa ibu saya bisa terkena Covid-19? Menurut dugaan saya, ibu saya tertular dari abang dan adik saya yang pada dua pekan lalu berdasarkan hasil swab antigen positif. Dua saudara saya ini memang tinggal serumah dengan ibu dan ayah saya.
Yang membuat saya heran, hasil swab antigen ibu saya ketika awal "mengungsi" ke rumah saya, hasilnya negatif. Ketika saya bawa ke IGD RS Bunda Aliya, tidak ada indikasi infeksi virus.
Herannya lagi, ketika ibu saya sudah di IGD RS Jantung Diagram Siloam Cinere, hasil swab antigennya juga negatif. Padahal, di awal penanganan dokter sudah bisa menduga ibu saya terkena Covid.Â
Setidaknya terdengar dari suara ngorok ibu saya yang menandakan ada masalah di paru-paru ibu saya. Dan, dugaan dokter terbukti setelah melihat hasil foto thorax dan hasil test PCR.
Setelah mendapat kepastian ibu saya positif Covid-19, ibu saya saat itu juga seharusnya sudah "dilarikan" ke RS khusus penanganan Covid-19 yang memiliki ruang ICU dan ventilator mengingat saturasi ibu saya yang belum stabil.Â
RS Jantung Diagram Siloam Cinere sebenarnya bukan RS rujukan khusus untuk Covid-19, tetapi khusus untuk Jantung. Itu sebabnya, di RS ini peralatan medisnya lebih kepada penanganan jantung.Â
Kalaupun ada ruang ICU tapi tidak dikhususkan untuk pasien Covid-19, dan itu pun jumlahnya sangat terbatas. Kalau dipaksakan itu akan sangat beresiko pada keselamatan pasien non Covid yang tengah menjalani perawatan di sini.
Dijelaskan pula, karena bukan RS rujukan khusus Covid-19, maka alat-alat kesehatan yang ada di sini tidak didesain untuk penanganan pasien Covid-19. Oleh sebab itu, ibu saya harus segera dipindahkan di ruang ICU RS khusus penanganan Covid-19.
Yang mencari RS adalah pihak RS di mana ibu saya ditangani. SOP atau Standard Operating Procedure-nya begitu. Setidaknya begitu penjelasan Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kementerian Kesehatan Busroni, ketika saya sampaikan kondisi ibu saya kepadanya.
Ada sistem transfer pasien yang hanya bisa diakses oleh pihak rumah sakit. Ia menyarankan, ibu saya tetap di RS Jantung Diagram sampai ditemukan ruang ICU untuk ibu saya. Jika dipaksakan akan beresiko bagi keselamatan ibu saya.
Pihak RS, saya, suami, dan saudara-saudara saya pun mencoba mencari. Pihak RS mencari, pihak keluarga pun ikut mencari.Â
Saya coba hubungi satu persatu relasi saya di beberapa rumah sakit swasta, jawabannya untuk ruang ICU penuh karena jumlahnya memang terbatas.
Saya coba hubungi Komandan RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Letnan Kolonel Laut Muh. Arifin. Sayang, ia tidak bisa banyak membantu. "Maaf mbak, sudah full, dalam 2 pekan ini sudah full," katanya.
Arifin menjelaskan Wisma Atlet memang tidak dirancang untuk menangani pasien bergejala berat. Di sini hanya ada 5 tempat tidur ICU transisi yang gunanya untuk mempersiapkan kondisi pasien agar stabil sebelum diantar ke ICU rumah sakit rujukan. Saat ini seluruh bed tersebut sudah penuh terisi.
Setiap hari saya juga coba menelusuri melalui Sinarap atau Sistem Rawat Inap di Yankes Kemkes. Setiap hari pula hasilnya penuh. Di Kota Depok, di DKI Jakarta, sama saja.
Pada ketersediaan kamar pasien Covid-19 di situs SIRANAP Kementerian Kesehatan, itu kerap terjadi perbedaan data. Di situ tertulis tersedia 1 bed kosong ICU, setelah dihubungi kenyataannya tidak tersedia alias penuh.
"Oh maaf bu, penuh. Mungkin datanya belum diperbaharui," jelas petugas ketika saya menghubunginya.Â
Saya coba menghubungi ke rumah sakit lain, juga jawabannya sama.
Padahal di sistem itu tertera per hari ini. Mungkin per hari ini di jam sekian masih ada, ketika saya hubungi sudah terisi. Saya tidak mau berburuk sangka karena kondisinya memang seperti ini.
Tidak menyerah, saya coba hubungi beberapa direktur rumah sakit kenalan saya, dan hasilnya sama saja. Saya pun menitip pesan jika ada 1 bed kosong mohon perkenannya untuk menginformasikannya kepada saya.
"Maaf mbak laporan pagi ini icu covid kami masih penuh. Krn skrg 30% pasien msk igd butuh icu," kata Direktur RS Haji Jakarta dr. Mahesa Paranadipa Maikel, yang juga Ketua Umum DPP Masyarakat Hukum Kesehatan  Indonesia, membalas pesan saya.
Adik saya juga melaporkan hasil yang sama. Di Kota Bogor juga full untuk ICU. Begitu setidaknya informasi yang didapatkan dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor.Â
Sampai per hari ini, belum didapatkan 1 bed ICU untuk ibu saya. Laporan yang masuk penuh. Di jaringan RS Siloam pun demikian. Ibu saya masih masuk waiting list di RS Siloam Kelapa Dua Tangerang.
Penyakit virus Corona ini bukanlah penyakit yang dalam satu atau dua hari bisa sembuh. Butuh waktu minimal satu hingga dua minggu untuk perawatan pasien Corona. Ini juga tergantung bagaimana kasusnya.
Untuk kasus berat pasien Covid-19 membutuhkan ventilator atau alat bantu napas. Sedangkan pada pasien Corona dengan kasus ringan tidak menggunakan ventilator atau alat bantu napas.Â
Nah, ibu saya masuk dalam kategori berat, sedangkan saya masuk ringan karena tidak bergejala, sementara anak-anak dan suami bergejala tapi masih kategori ringan sehingga kami sekeluarga melakukan isolasi mandiri di rumah.
Berita kematian Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja dunia setelah berjuang melawan Covid -19 pada Minggu (11/7/2021), semakin mempertegas kenyataan betapa susahnya mencari ruang ICU.Â
Bupati sempat menjalani perawatan selama 10 hari di dua rumah sakit, yakni di RS Permata Bekasi dan Rumah Sakit Siloam, Kelapa Dua, Tangerang. Perawatan dilakukan di Tangerang setelah Sang Bupati tak mendapat ruang ICU di wilayahnya sendiri yang penuh dengan pasien.Â
Suatu ironi. Orang nomor satu di Kabupaten Bekasi saja tidak bisa mendapatkan ruang ICU, bagaimana orang-orang nomor kesekian. Sistem pelayanan kesehatan Indonesia sepertinya benar-benar kolaps.
Ya, Kota Depok dan Jakarta, mungkin juga kota lainnya, menurut saya, sedang tidak baik-baik saja. Tingginya kasus Covid-19 membuat rumah sakit kebanjiran pasien.
Layanan instalasi gawat darurat (IGD) dan unit perawatan intensif (ICU) di sejumlah rumah sakit di Indonesia memang dalam kondisi penuh dalam 2 pekan terakhir. Tenaga kesehatan dan medis kewalahan menangani lonjakan pasien Covid-19.
Setidaknya itu terlihat ketika saya membawa ibu saya ke beberapa IGD rumah sakit di Kota Depok. Dari lima rumah sakit yang kami datangi ruang IGD full. Memang terlihat beberapa pasien sedang antri.Â
Ibu saya hanya diperiksa kadar saturasinya. Dan, itu pun dilakukan di dalam mobil. Tidak ada bed untuk menampung ibu saya. Ya Allah, akhirnya saya mengalami juga peristiwa yang dialami kawan saya atau yang seperti di berita-berita yang saya baca. Merasakan kegelisahan hati yang sama.
Kehadiran varian Delta membuat penularan virus corona begitu cepat. Varian asal India ini memiliki tingkat penularan lebih tinggi 97% dibandingkan virus aslinya.Â
Situasi Indonesia serupa dengan India saat gelombang kedua menerjang pada April-Mei lalu. Penyebaran yang cepat membuat layanan kesehatan kolaps.Â
Ketika tingkat keterisian rumah sakit khususnya ICU meningkat, dampak pertamanya adalah peningkatan kematian karena pasien tak tertangani.Â
Ya Allah, saya tidak kuasa membayangkan hal ini terjadi pada ibu saya. Semoga ada keajaiban buat ibu saya, ada mukzijat dari Yang Mahakuasa.Â
Semoga juga ada keajaiban untuk kesembuhan negeri ini. Ya Allah sehatkanlah bangsa ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H