Ibu saya sakit. Sejak "mengungsi" seminggu ini ke rumah saya karena abang dan adik saya terkena Covid-19, kondisi kesehatan ibu saya memang kurang fit. Tapi setelah test antigen Alhamdulillah negatif.
Sabtu (3/7/2021) pagi, saya sudah mengajak ibu saya periksa ke klinik untuk memastikan keluhannya. Apa obatnya tidak cocok atau bagaimana? Tapi ibu saya selalu menjawab, "Insyaallah nanti juga baikan". Sorenya saya ajak lagi, dijawab dengan kalimat yang sama.
Minggu (4/7/2021), ibu mengeluh tidak bisa mencium aroma minyak kayu putih, tapi masih bisa mencecap rasa asin, manis, asam, pahit. Saya mulai waspada. Apalagi abang kedua menelepon dan mengingatkan untuk tetap waspada.
Pertama, ibu saya lansia dengan komorbid jantung, hipertensi, dan diabetes yang selama 20 tahun ini disandangnya. Berarti, menjadi kelompok yang riskan tertular.
Kedua, ayah saya juga lansia, umur 82 tahun ada komorbid hipertensi. Jika ibu saya kemungkinan terkena Covid-19, berarti seluruh orang rumah ini kemungkinan juga bisa terkena.
Ketiga, saya yang juga komorbid, penyintas kanker. Meski saya merasa baik-baik saja, kemungkinan-kemungkinan bisa saja terjadi.
Keempat, ada tiga anak saya yang berusia 16, 15, dan 10 tahun. Â Jadi juga berpotensi tertular.
Jadi, terbayang kan kegelisahan saya. Saya mencoba mengenyampingkan bahwa ini gejala Covid-19. Karena setahu saya, anosmia juga kehilangan rasa, tidak hanya penciuman, sebagaimana yang dialami beberapa kawan yang positif Covid-19.
Minggu (4/7/2021) menjelang Maghrib, ibu saya mengeluh perutnya panas. Daripada daripada, ya kan lebih baik-lebih baik. Jadi, setelah shalat Maghrib saya bawa ibu saya ke dokter.
Saya memutuskan tidak jadi periksa di klinik, tapi ke rumah sakit saja. Pertimbangan saya mengapa ke rumah sakit, kalau ibu saya kenapa-kenapa bisa langsung ditangani mengingat di rumah sakit pasti fasilitasnya lebih lengkap dibanding klinik.
Saya pun mempersiapkan berkas-berkas BPJS Kesehatan yang diperlukan. Siapa tahu bisa dimanfaatkan. Berdasarkan pengalaman saya, jika pasien dalam kegawatdaruratan, dibawa ke IGD RS mana saja, akan dicover BPJS, meski RS yang dituju bukan RS rujukan pasien.
Tentu saja dengan catatan, jika RS tersebut sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Seperti yang saya alami ketika beberapa kali drop saat pengobatan kanker. Dibawa ke IGD RSCM, Hermina Depok, Bunda Aliya, semua dicover BPJS.
Begitu juga kalau kita sedang berada di luar kota. Kepesertaan kita sebagai anggota BPJS bisa dimanfaatkan. Asal kartunya dibawa. Saya sendiri selalu membawa kartu BPJS dan kartu berobat saya di berbagai RS jika suatu waktu diperlukan gampang deh menelusurinya.
Diantar suami, saya pun membawa ibu saya ke RS Bunda Aliya. Pertimbangannya, karena lebih dekat dibandingkan saya membawanya ke RS Hermina Depok atau RS Graha Permata Ibu, RS rujukan ibu saya. Lagi pula, ibu saya sudah terlihat lemas.
Saya sudah membayangkan pasien non-Covid-19 ditolak RS karena lebih fokus menangani pasien Covid-19 sebagaimana yang saya baca di berita dan apa yang dialami kawan saya. Dag dig dug juga saya.
Sampailah saya di IGD. Kami disambut ramah dua petugas kesehatan yang memakai alat pelindung diri lengkap. Tapi ibu saya belum bisa langsung diperiksa.
"Tapi ini masih waiting list ya bu karena bed penuh, tidak apa-apa? Tapi kalau ibu mau ke  rumah sakit lain, kami persilakan," tanyanya.
"Kalau nanti pasien dinyatakan harus dirawat, mohon maaf tidak bisa dirawat di sini karena bed penuh. Jadi, harus cari rumah sakit lain. Nanti akan dikasih surat pengantar," katanya lagi.
Mendengar penjelasan ini, saya pun tidak keberatan. Bagaimana lagi? Belum tentu juga di RS yang lain kosong. Saya baca-baca RS di Kota Depok sudah overload oleh pasien Covid-19.
Saya tanya berapa lama harus menunggu, petugas tidak bisa memastikan. Apakah 1 jam, 2 jam atau lebih? Hmmm...baiklah. Sambil menunggu saya mendorong kursi roda yang disiapkan petugas untuk ibu saya ke loket pendaftaran.
Setelah isi form mengenai data-data ibu saya mengingat belum pernah berobat di sini, juga menginput data peserta Askes ibu saya, petugas pun menjelaskan, biaya akan dicover BPJS dilihat dari tingkat kegawatdarutan pasien.
"Nanti yang menentukan gawat tidaknya dokter yang memeriksa. Jika dinilai masuk ke dalam kegawatdaruratan dicover BPJS, kalau tidak berarti bayar pribadi," jelasnya.
Saya menyetujuinya dan menandatangani surat persetujuan. Kemudian saya pun diminta menunggu. Jika sudah gilirannnya pasien akan dipanggil. Alhamdulillahnya ruang tunggu cukup nyaman dan luas. Ibu saya juga bisa tidur-tiduran di kursi roda sambil menjulurkan kaki di kursi.
Syukurlah, ibu saya tidak harus menunggu lama. Tidak sampai 1 jam. Ibu saya pun dipanggil. Kemudian merebah di bed. Petugas pun mulai memeriksa kondisi ibu saya dan ditanya-tanya perihal riwayat penyakitnya.
Karena di ruang IGD, hanya satu orang saja yang diperkenankan untuk mendampingi. Tapi suami meminta saya untuk menunggu di luar saja. Suami khawatir jika saya tertular penyakit di ruangan ini. Terlebih di bed sebelah, terdengar suara batuk yang tidak berhenti-henti dan keras.
Ya sudah, saya dan suami menunggu di luar. Beberapa lama kemudian saya pun diminta menemui dokter jaga yang memeriksa ibu saya.
Dokter menjelaskan secara keseluruhan berdasarkan hasil pemeriksaan lab, kondisi ibu saya baik-baik saja. Ukurannya masih dalam batas toleransi. Kecuali untuk "segmen" yang kelebihan 5 yang seharusnya batas normal 75.
Kata dokter, itu karena ada infeksi bakteri. Bukan karena infeksi virus. Syukurlah saya lega mendengar penjelasan ini. Alhamdulillah.
Sepertinya ibu saya terlalu memikirkan kondisi abang dan adik saya. Jadi, daya imunnya drop deh. Padahal anak-anaknya itu sudah besar. Mungkin saya juga akan begitu barangkali ya saat lansia?
Dokter pun memberikan resep obat yang harus dikonsumsi ibu saya. Saya diminta ke loket kasir dan farmasi di lantai 2. Ternyata, biaya layanan pengobatan dicover BPJS. Sementara beberapa obat yang diresepkan ada satu yang tidak dicover.
"Harganya Rp106.000. Apakah ibu mau tebus?" tanya petugas farmasi yang saya jawab "iya".
Kemudian petugas meminta saya untuk menandatangani surat persetujuan bahwa memang saya bersedia membayar obat itu. Ya tidak masalah. Untuk kesembuhan ibu saya, tidak apalah. Masih terjangkau ini kok.
Alhamdulillah...ibu saya tidak perlu dirawat. Ibu saya juga tidak ditolak tapi hanya diminta menunggu karena bed penuh. Dan, itu pun tidak harus menunggu lama.Â
Pelayanannya juga memuaskan. Dokter, perawat, dan petugas ramah melayani kami. Akhirnya kami pun pulang. Terima kasih BPJS Kesehatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI