Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjadi Korban Copet: Dipepet, Ditodong, Dibuntuti, Didorong, Bersitegang

15 Juni 2021   17:50 Diperbarui: 15 Juni 2021   19:08 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dulu, ketika transportasi umum tidak seramah dan sebersahabat seperti sekarang-sekarang ini, pengalaman saya sebagai korban copet mungkin bisa menyaingi pengalaman bekerja saya.

Mulai di kereta, bis kota, bajaj, angkot, metromini, kopaja, di pinggir jalan. Dari ditodong pakai pisau, dipepet, didorong, dibuntuti hingga bersitegang.

Meski transportasi umum sekarang lebih nyaman dibanding sebelum-sebelumnya bukan berarti bebas dari copet. Tetap kita harus waspada karena trik pencopet itu juga tidak kalah "majunya" dengan perkembangan jaman.

***

Kalau di angkot (saya lupa kejadiannya tahun berapa), hp terbaru saya yang ada televisi dan ada pulpennya, yang tengah hits saat itu (lupa mereknya apa), hilang. Saya yakin diambil oleh penumpang pria yang duduk di depan saya. Penampilannya sih seperti pegawai kantoran begitu.

Saya baru menyadari hp saya hilang usai menjemput anak saya di rumah ibu saya. Saat saya ingin mencek telepon di angkot lha hp yang saya taruh di kantong depan tas tidak ada.

Saya cari-cari di dalam tas tidak ada. Tertinggal di rumah ibu saya tidak mungkin juga karena selama di sana saya tidak buka-buka tas. Lagi pula saya cuma sebentar.

Saya pun menyadari hp saya dicopet. Saya sudah menduga, penumpang yang duduk di depan sayalah pelakunya. Dia membawa tas ransel yang menutupi kedua tangannya.

Saya sih memang merasa tas saya seperti ada gerakan yang mencurigakan tapi saya tidak terpikirkan orang depan saya itu akan mengambil hp saya. Memang hp saya simpan di kantong depan tas, tapi tasnya kan saya kepit. Jadi amanlah. Begitu pikiran saya.

Tidak lama penumpang itu turun di saat angkot tengah ngetem di dekat Stasiun Depok Lama. Tapi saat dia turun, dia sempat terjatuh. Mungkin karena terburu-buru menghindari saya atau takut ketahuan karena hp sudah di tangannya. Saya sempat heran, tapi tidak terpikirkan dia copet.

Saya ingat orang itu juga menaiki angkot 03 rute Bojongsari - Terminal Depok. Saat menunggu angkot ini saya memang tengah menerima panggilan, dan ketika berada di angkot saya sempat menonton acara televisi di hp saya dan menerima telepon.

Jadi, mungkin saya sudah diincarnya. Maka, dia naik angkot yang sama, D05 rute Terminal Depok - Citayam, mengikuti saya. Memang sih dia beberapa kali melempar senyum kepada saya, tapi karena saya merasa tidak kenal, saya abaikan.

Mengapa saya "menuduh" dia, karena dia turun dengan tergesa-gesa dan hampir terjatuh. Selain itu, orang itu duduk di depan saya, sehingga menjadi orang yang paling dicurigai.

Posisi duduk dengan tas ransel agak gede yang sengaja menutupi kedua tangannya menjadi hal yang mencurigakan juga. Kan biasanya kedua tangan di atas tas, dan ini tidak.

Ya, sudahlah, bukan rejeki. Saya hanya bisa menikmati hp keluaran terbaru itu selama 2 minggu saja. Mungkin orang itu butuh uang untuk biaya pengobatan anak, isteri, atau orangtuanya yang sakit.

Sejak itu, saya mulai waspada dengan orang yang mencurigakan seperti dia. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Saya juga lebih berhati-hati jika menerima panggilan di tengah keramaian.

***

Ketika itu, setelah menuntaskan agenda kegiatan saya di Hotel Borobudur, saya pun memutuskan pulang naik bis Patas AC dengan rute Terminal Senen - Terminal Depok (saya lupa nomor trayeknya, mungkin 134?).

Bis ini ngetem di pinggir jalan, jadi tidak di dalam terminal. Saat itu, pukul 8 malam. Karena ada beberapa bus yang ngetem, saya pun menaiki bis yang paling depan. Tapi masih sepi. Saya memilih duduk di tengah. Cahaya di dalam bis agak temaram.

Tiba-tiba muncul pemuda dekil dengan pisau kecil di tangannya. Dia menodongkan pisau itu ke leher saya. Saya tidak tahu dia beraksi sendiri atau ada temannya di belakang memantau situasi.

"Serahin hp loe, atau mati?!" katanya.

Dari mana dia tahu saya punya hp? Saya ingat saya sempat menerima telepon ketika menuju ke bis paling depan. Mungkin dia melihat, jadi saya pun diincarnya. Saya lupa kalau kawasan Senen adalah kawasan pencopet.

Seingat saya tidak ada penumpang lain ketika peristiwa itu terjadi. Nyali saya jadi ciut juga. Padahal tidak begitu jauh dari bis ini ada kantor polisi. Saya ingin berteriak minta tolong tapi lidah saya kelu.

Jadi, mau tidak mau, saya pun menyerahkan hp saya. Handphone terbaru keluaran Nokia yang berlayar biru. Lupa tipenya, 8245 atau 8250? Yang jelas hp baru itu baru seminggu saya pakai. Dongkol juga sih, tapi mau bagaimana lagi?

Pemuda itu langsung turun setelah hp berpindah ke tangannya. Tidak lama kemudian beberapa penumpang menaiki bis yang saya tumpangi.

Berkaca pada peristiwa itu, saya pun jadi lebih berhati-hati saat ada panggilan masuk ke hp saya atau menelepon atau membalas sms seseorang. Ketika saya merasa sudah dalam keadaan aman, baru saya membalas panggilan atau sms tersebut.

Saya juga memilih duduk dekat supir, entah di sampingnya atau di belakangnya ketika bus masih saya dapati dalam keadaan sepi. Kecuali sudah ada beberapa penumpang yang duduk, baru saya memilih agak di tengah.

***

Ketika saya naik bus mayasari bakti dengan nomor trayek 57 rute Blok M - Pulogadung, di Stasiun Cawang, kebetulan saya berdiri. Penumpang sih sebenarnya tidak terlalu padat, meski tempat duduk terisi semua.

Nah, saat itu di kiri kanan saya dipepet oleh pemuda. Sementara, pemuda-pemuda yang berdiri di depan dan belakang pintu bis berisik seperti memang mengalihkan perhatian. Dari gerak geriknya saya sudah menduga mereka adalah kawanan pencopet.

Ketika saya mau turun, saya masih tetap dipepet. Saya perhatikan tangan pemuda itu sudah di tas saya.

"Ngapain loe mepet-mepet gue? Loe mau copet gue ya?" kata saya dengan nada kesal.

"Kagak nyopet," jawabnya tetap sambil memepet saya.

"Lha itu tangan loe ngapain di tas gue. Mau nyopet kan?" kata saya. 

"Lepasin kagak tangan loe atau gue teriak copet!" tantang saya. Seketika dia pun melepaskan tangannya.

"Minggir, gue mau turun," kata saya seraya mendorong tubuhnya dengan badan saya.

Sementara saya perhatikan, gerombolan pemuda di pintu belakang dan depan seketika juga diam. Mungkin karena mangsanya lepas, jadi lemas.

Sejak itu, saya selalu memperhatikan gerak-gerik orang-orang yang ada di dalam bus. Kalau mencurigakan hp dan dompet saya sembunyikan di tas yang saya gulung dengan sapu tangan handuk. Kalau mau turun tas saya peluk.

Entah kalau kekinian, apakah masih ada yang begitu? Sepertinya sih sudah tidak ada karena transportasi umum jenis ini sudah "bermetamorfosis" menjadi bus Trans Jakarta dengan berbagai rute.

***

Di kereta, penumpang begitu sesak. Maklum, jam pulang kerja. Kondisinya juga tidak seperti sekarang ini. Dulu, kereta ibarat toko berjalan. Apa saja ada. Dari jualan makanan, minuman, perabot, baju anak-anak, mainan, hingga buku-buku.

Sudah bisa diduga, kawanan pencopet bertebaran di sini, berbaur bersama para penumpang lainnya. Memanfaatkan celah di sesaknya para penumpang.

Saya sudah waspada sebenarnya. Tas ransel saya gemblog di depan dan saya jepit pakai satu tangan saya, tangan satunya lagi dipakai untuk berpegangan.

Ketika sebentar lagi akan masuk ke Stasiun Depok Lama, saya sudah berusaha mengubah formasi berdiri saya dengan menggeser kaki sedikit demi sedikit. Saat itu, saya merasa tas saya tertarik, dengan refleks saya tarik tas saya.

Saat sampai di Stasiun Depok Lama, saya didorong oleh seseorang, yang mungkin saja dilakukan oleh pencopet yang gagal. Mungkin karena kesal, dia lampiaskan dengan mendorong saya.

Saya pun terjatuh dengan posisi telentang di peron. Alhamdulillahnya saya tidak mengalami luka apa-apa. Beberapa penumpang bertanya tentang kondisi saya, yang saya jawab baik-baik saja.

Saya pun bangkit dan memperhatikan tas saya sobek agak panjang bekas disilet. Waktu itu modus seperti ini sudah menjadi pembicaraan umum. Saya bersyukur, siletnya itu tidak melukai tangan saya. Entah kalau itu terjadi.

Di lain waktu, saya bareng teman saya naik kereta di siang hari. Penumpang tidak terlalu ramai. Ketika kereta siap-siap melaju dari Stasiun Depok Baru, tiba-tiba saya mendengar penumpang yang duduk tidak jauh dari saya berteriak karena kalungnya dijambret dari balik jendela.

Pelakunya entah tertangkap atau tidak, karena dulu arah ke luar tidak seketat sekarang. Dulu, masih bisa lari dan menyeberang bersembunyi di sekitar rumah penduduk. Kalau sekarang mah sudah bisa langsung ditangkap.

Berkaca dari pengalaman itu, berhati-hatilah. Jangan memakai perhiasan yang terlalu mencolok, yang bisa menggoda seseorang menjadi gelap mata.

Kalau perlu perhiasannya disembunyikan di balik baju. Atau kalau perlu tidak usah pakai perhiasan jika menggunakan transportasi umum yang ramai penumpang.

Demikian bebetapa pengalaman saya saat menjadi korban. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun