Lucunya negeri ini. Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi bahan-bahan pokok atau sembako. Kawan-kawan saya sampai tertawa mendengarnya.
Rencana ini sudah tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jadi, bukan lagi sekedar wacana.
Dalam Pasal 44E draf perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 itu menghapus sembako dikecualikan dari pengenaan PPN.
Padahal, dalam UU Cipta Kerja pada perubahan Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 memasukkan "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak" dikecualikan dari PPN.
Sudah lucu, aneh. Bagaimana tidak aneh, giliran akan membeli mobil mendapat relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), eh sembako yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak malah dikenakan PPN.Â
Stimulus PPnBM ini katanya sih untuk meningkatkan daya beli masyarakat dalam membeli mobil dengan harga berkisar Rp 250 juta ke bawah. Kebijakan ini (katanya) juga dapat mendongkrak mata rantai industri otomotif di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan, masyarakat yang mana? Apa iya masyarakat yang "pas-pasan"?
Dalam keadaan pandemi Covid-19, orang berusaha bertahan hidup. Salah satunya dengan berusaha memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sembako.Â
Sembako sendiri sejatinya berarti sembilan bahan pokok atau sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat.
Kesembilan bahan pokok itu menurut "Kepmenperindag 115/1998" adalah beras, minyak goreng dan mentega, sayur dan buah, gula pasir, garam, daging (sapi, ayam, ikan), susu, telur ayam, dan jagung.Â
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, boro-boro bisa memenuhi kesemuanya, terpenuhi satu atau dua bahan pokok saja sudah syukur Alhamdulillah. Setidaknya masih bisa bertahan hidup.