Bagaimana dengan anak-anak? Saya tanya anak-anak, lebih enak PJJ atau PTM? Anak-anak saya sih lebih memilih PTM. Alasannya, kalau PJJ tidak bisa bertanya langsung ke guru jika ada yang tidak dimengertinya, dan sungkan juga. Menurut anak saya sih kurang interaktif.
Alasan lainnya, kalau PTM bisa lebih nyambung dengan guru dibandingkan dengan PJJ yang kerap terkendala jaringan. Di rumah dalam kondisi baik, belum tentu di sana juga baik.
Selain itu, belajar dari rumah kurang hidup, meski video di on-kan. Katanya, guru jarang menerangkan. Terkadang memang materi ditampilkan di layar tapi tidak disertai dengan penjelasan layaknya PTM.Â
Guru malah lebih sering meminta siswa untuk belajar dari YouTube yang linknya dibagikan. Kondisi ini membuat anak saya jadi tidak termotivasi untuk belajar. Tugas juga dikerjakan ketika sudah diingatkan kembali oleh guru.
Anak-anak juga lebih memilih PTM karena bisa berjumpa dengan kawan-kawannya. Bayangkan saja lebih dari satu tahun tidak saling berjumpa. Saya sendiri kerap tidak mengizinkan anak saya main ke rumah kawannya. Terlebih belum tentu juga orangtua kawannya mengizinkan.
***
Pertanyaan apakah PJJ atau PTM ini juga dibahas dalam webinar "Refleksi Pendidikan Indonesia di antara PJJ dan PTM" yang diadakan Faber-Castell, Sabtu (5/6/2021) yang menampilkan narasumber pemerhati pendidikan Saufi Sauniawati.
Pandemik yang telah berlangsung 1 tahun memang membawa banyak perubahan di banyak sisi kehidupan manusia, salah satunya adalah proses belajar yang kini banyak dilakukan melalui PJJ.Â
Perubahan yang terjadi hampir 180 derajat, yang dari tatap muka di sekolah menjadi daring, tentu saja memberikan berbagai efek dalam dunia pendidikan.
Menurut Saufi, metode PJJ di Indonesia, tidak maksimal. Ia menilai sesungguhnya Indonesia belum siap dalam menghadapi PJJ, berbeda dengan negara lain. Terutama negara maju.